Saturday, December 13, 2008

GITAR TUNGGAL: Warna Batanghari Sembilan

Oleh EKA PASCAL

Sahilin: Umak-umak belikan sagu /Aku kepingin makan pempek /Umak-umak carikan aku /Aku ni lah malas tiduk dewek. Siti Rahmah: Lemak pule makan pempek /Ambek sagu buat tekwan /Daripade tiduk dewek /Lemak sekali lah meluk bantal. (Pantun yang ditembangkan Sahilin dan Siti Rahmah, di suatu tempat pada suatu waktu, dalam gitar tunggal batanghari sembilan).

Setiap kebudayaan di dunia, memiliki dua pilar utama, yaitu bahasa dan musik mereka sendiri. Dalam kebanyakan budaya, baik bahasa maupun musik dipakai untuk berkomunikasi. Bahasa memakai kata-kata sebagai media untuk membagikan pemikiran dan ide, sedangkan musik mengawinkan kombinasi kata (biasanya dalam bentuk syair) dan komponen ritmis melodis untuk berkomunikasi. Seperti bahasa, musik dapat mengomunikasikan pemikiran dan ide. Bahkan kadangkala musik dapat dipakai untuk strata komunikasi yang lebih mendalam yang mengungkapkan hal-hal yang tak dapat dikatakan secara langsung. Jangan heran ketika mendengarkan suatu lagu atau komposisi musik secara ekpresif, seseorang penggemar berat musik bisa trance bahkan orgasme emosional. Musik, melalui perkawinan syair, puisi, dan, bunyi, akan menyampaikan ungkapan-ungkapan dalam kehidupan sehari-hari, baik kepedihan (elegi) maupun kelakar-kelakar (joke) yang menghibur seperti kopelan pantun Sahilin dan Siti Rahmah dalam genre batanghari sembilan di atas.

Musik adalah bunyi yang diterima oleh individu dan berbeda-beda berdasarkan sejarah, lokasi, budaya, dan selera seseorang (taste). Definisi tentang musik juga bermacam-macam, ada yang berpendapat, musik adalah bunyi yang dianggap enak oleh pendengarnya. Segala bunyi yang dihasilkan secara sengaja oleh seseorang atau kumpulan dan disajikan sebagai komposisi musik. Musik menurut Aristoteles mempunyai kemampuan mendamaikan hati yang gundah, mempunyai terapi rekreatif, dan menumbuhkan jiwa patriotisme.

Ada yang berpendapat, makna musikal tidak dapat menyeberang lintas budaya. Alasannya, kita harus berbicara dengan menggunakan bahasa musik dari budaya setempat. Jelas penulis tidak setuju dengan pendapat ini, musik adalah media komunikasi yang digetarkan melalui melalui sentuhan melodi taste seseorang, ia akan mengalir, mengisi labirin emosi pendengar, pun tanpa mengerti liriknya, seseorang akan langsung connect dengan suatu aliran musik atau irama lagu yang ia senangi.

Sebagai contoh, kita akan apresiatif (entah kalau orang tak menyenangi musik), walaupun tidak mengerti syair suatu lagu, misal lagu Kebile-bile (lagu Sumsel), Bubuy Bulan (lagu Sunda), atau I Feel Good-nya (lagu Inggris) James Brown yang sudah familiar di telinga masyarakat. Musik menyentuh sampai kedalaman jiwa manusia, ia akan larut dan menyetubuhi emosi seseorang. Apalagi ketika di rantau, lagu batanghari sembilan berkumandang, home sweet home.

Dari Rejung ke Gitar Tunggal
INDONESIA adalah sebuah negara yang terdiri dari ribuan pulau yang konon terbentang dari Papua hingga Aceh. Dari sekian banyaknya pulau beserta dengan multietnik tersebut lahir, tumbuh, dan berkembang kesenian yang merupakan identitas, jati diri, media ekspresi dari masyarakat pendukungnya. Kesenian di Indonesia ini merupakan hasil local genius budaya yang sudah berusia cukup lama, bahkan ada yang berusia ratusan tahun. Di antara kesenian itu adalah seni musik Keunikan tersebut bisa dilihat dari teknik permainannya, suara (sound), penyajiannya maupun bentuk/organologi instrumen musiknya.

Selain lagu daerah, hampir di seluruh wilayah Indonesia mempunyai seni musik tradisi, seperti tarling, campur sari, jaipongan, degung, gambang kromong, langgam jawa (dikenal sebagai bentuk musik campur sari). Ada yang telah punah namun masih ada yang bertahan walaupun dengan nafas ngos-ngosan diterjang badai berbagai aliran musik modern mulai dari pop hingga rock 'n' roll yang memang cepat akrab di telinga, terutama, kalangan muda. Salah satu kekayaan lagu dan musik yang tumbuh di Sumatra Selatan (Sumsel) adalah batanghari sembilan.

Konsep atau istilah Batanghari Sembilan, mengacu ke wilayah, adalah sebutan lain dari kawasan Sumatra Bagian Selatan (Sumsel, Jambi Lampung, Bengkulu minus pulau Bangka) yang memiliki sembilan sungai (batanghari) bermuara ke sungai Musi. Batanghari dalam beberapa bahasa lokal di Sumsel, misalnya saja bahasa Rambang (Prabumulih) berarti sungai., bersinonim dengan kali (Jawa) atau river (Inggris). Pada perkembangan selanjutnya, batanghari sembilan juga bermakna budaya, yaitu budaya batanghari sembilan, di antaranya adalah musik dan lagu batanghari sembilan (selanjutnya batanghari sembilan). Secara garis besar musik dan lagu batanghari sembilan adalah salah satu genre seni musik atau lagu daerah yang berkembang di Sumatra Selatan layaknya di daerah lain Indonesia.

Tak ada catatan khusus tentang sejak kapan mainstrem batanghari sembilan mulai ada, juga tak ada nama khusus terkait seni musik wong Sumsel ini. Masyarakat Sumsel cuma mengenalnya dengan berbagai sebutan; lagu batanghari sembilan, musik batanghari sembilan, irama batanghari sembilan, rejung (Besemah), dan ada yang mengidentikannya dengan gitar tunggal. Belakangan, karena jenis kesenian ini ada di hampir seluruh wilayah Sumsel, yang dikenal sebagai daerah Batanghari Sembilan, lekat pula nama “Batanghari Sembilan” pada jenis kesenian ini. Menurut Sahilin, pemetik gitar tunggal profesional Sumsel, istilah ini mulai dikenalkan oleh Djakfar Marik dari dusun Jambabale, Pagaralam.

Musik dan lagu batanghari sembilan diperkirakan berakar dari rejung (pantun/sastra tutur di Besemah, salah satu wilayah Batanghari Sembilan). Pada mulanya, rejung tak menggunakan instrumen musik tradisional sebagai alat pengiring bunyi, ia hanya dituturkan dengan irama yang khas. Baju kurung kancing tige /Ditunde ngambang ke Selangis /Kalu urung ancaman kite /Alangkah panjang karang tangis /Kalu ade berenay damping /Tegak ambangan Mareduwe /Kalu ade sungay nak nyumping /Suke selangis pancar duwe adalah contoh pantun rejung yang sangat populer kala itu.

Perkembangan selanjutnya, rejung mulai diharmonisasikan dengan alat bunyi perkusi sederhana, terbuat dari bambu (getuk, getak-getung), kulit binatang (redap) dan terbuat dari besi (gung, kenung). “Instrumen” rejung ini bertambah lagi dengan alat bunyi tiup yang terbuat dari bambu (seredam), besi (ginggung) bahkan ada yang terbuat dari daun (carak). Alat musik modern; gitar, akordion, terompet, biola, mulai dikenal menjadi alat pengiring musik dalam batanghari sembilan diperkirakan sejak bangsa Barat masuk ke Sumsel.

Sejak memakai alat musik modern, alat musik tradisional mulai ditinggalkan, hanya ginggung (ginggong) masih terlihat. Pasca 1945, sesuai dengan dinamika perkembangannya, genre musik batanghari sembilan membelah lagi menjadi beberapa sub-genre, pengkategorian musik seperti terkadang merupakan hal yang subjektif, di antaranya rejung (makna lain adalah sastra tutur), tige serangkay (tiga serangkai), antan delapan (contoh lagu; Antan Delapan, Eray-eray, Ribu-ribu, Kumpay Beranyut, Nasib Malang), gitar tunggal (akustik). Awalnya tige serangkay dan antan delapan adalah judul pantun dalam rejung. Amuntaukah ayik karawang /Ay, ngape nak nyabun aduhay sayang, sane seberang sane /Amuntaukah nasib kah malang /Ay, ngape nak tughun aduhay, sayang deniye dalam lah deniye /Amun mbak ini rupe mandian /Ay, ngape dik mandi aduhay, sayang kayik jalan kayik /Amun mbak ni rupe bagian /Ay, ngape di mati aduhay, sayang kecik badan lah kecik adalah syair tiga serangkai. Dalam perkembangannya, nada, ritme, melodi, dan harmoni dalam kedua lagu itu menjadi menjadi lagu-lagu dengan judul lain. Bagaimana dengan gitar tunggal?

Gitar Tunggal dan Fenomena Sahilin
BUDAYAWAN Ahmad Bastari Suan berujar, istilah gitar tunggal dalam konteks batanghari sembilan relatif baru, diperkirakan muncul sekitar tahun 1950-an. Sebelum muncul istilah ini, dikenal dengan “Petikan Dawi”. Dawi adalah nama pemetik gitar tunggal yang berasal dari daerah Besemah. Penyebutan gitar tunggal karena biasanya diiringi satu alat petik (gitar akustik), tidak ada alat musik lain, sebutan gitar tunggal pun kemudian juga dilekatkan. Pengertian gitar tunggal dalam batanghari sembilan berbeda dengan pakar gitar tunggal Jubing Kristianto atau Iwan Tanzil di Jakarta. Bagi mereka, gitar sebagai alat bunyi tunggal dalam bermusik. Sedangkan pengertian gitar tunggal dalam mainstream batanghari sembilan, selain sebagai alat musik, adalah juga warna musik atau sub-genrenya. Yok, kita gitar tunggalan atau berejung. Maksudnya, mari kita mainkan lagu-lagu, yang syairnya dari berbagai bahasa atau sub-bahasa etnik di Sumsel, diiringi teknik petikan gitar tunggal khas batanghari sembilan. Fenomena saat ini, gitar tunggal identik dengan musik batanghari sembilan itu sendiri.
Era keemasan gitar tunggal diperkirakan sekitar tahun 1960 dan 1970-an sezaman dengan era keemasan musik rock di Barat sono. “Flower generation” gitar tunggal juga bermunculan. Kala itu, masyarakat biasa menikmati petikan gitar tungal pada malam hari setelah lelah kerja seharian. Sebelum tahun 70-an, di Tanah Besemah, salah satu cara bujangan (pemuda) untuk pedakate terhadap seorang pujaannya (tentu saja perempuan), melalui gitar yang dipetik sambil melantunkan bait-bait pantun. Kegiatan ini, biasanya, dilakukan malam hari. Suara petikan gitar yang khas ini menjadi media untuk memanggil sang pujaan (gadis) bahwa ia datang untuk beghare (silaturahmi seorang atau beberapa bujang dengan seorang gadis untuk pendekatan hati). Pantunnya, di antaranya, berbunyi: Dudol ancaw dikecap kuday/ beghase anjam ngulang pule/ datang ke sini andun ninday/ amu boleh aku beghusik malam kele. Perpaduan bait pantun yang dilagukan dengan sound petikan gitar tunggal yang khas itulah dinamakan rejung.

Musik dan lagu batanghari sembilan melalui petikan gitar tunggal pada umumnya bersifat melankolis. Hal ini berkaitan erat dengan struktur masyarakatnya yang memiliki rasa persaudaraan, hubungan kekeluargaan, dan kecintaan akan kampung halaman. Dan sesuai dengan pengaruh riak aliran batanghari sembilan, musik ini memiliki irama yang meliuk-liuk dengan lirik berupa pantun bersahut yang panjang dan bersambungan, mirip panjangnya aliran sungai. Saat ini lagu batanghari sembilan bukan hanya untuk bersenandung melepas kepenatan hidup atau untuk merayu sang gadis pujaan, tapi juga sebagai suatu profesi dan seni pertunjukan. Pertunjukan musik batanghari sembilan, kadangkala menampilkan satu-dua penyanyi yang melantunkan pantun bersahut, dengan iringan petikan gitar tunggal.

Saat ini, seniman yang pernah dan masih setia menekuni seni ini bisa dihitung dengan jari, di antaranya Wayah, Isran, Rasnawati, Buchori, Discik, Syafrin, Emilia, Asnadewi, Rusli Effendi, Armin, Arman Idris, Jefri, Paul, Sahilin. Sahilin tetaplah maskot dan paling populer di jalur ini. Sakingnya banyaknya “show”, undangan presiden SBY pun pernah tak dapat dihadiri oleh Sahilin, karena jadwal bentrok. Walaupun bukan artis Jakarta, ternyata seorang Sahilin tetap profesional dan komit.

Pentatonis
Secara teoritis, teknik memetik gitar tunggal batanghari sembilan umumnya pentatonis (bertangga nada lima, bandingkan dengan musik produk Barat yang umumnya diatonis; bertangga nada tujuh). Petikannya dominan memanfaatkan melodi bas (senar 4, 5, dan 6). Setiap ganti lagu, acapkali, pemusik nyetem (menyetel) gitarnya sehingga menghasilkan irama yang berbeda. Dari delapan nada dasar pada gitar, kerap hanya mengandalkan lima nada. Nada-nada itu dipadukan secara pentatonis, mirip gamelan atau ketukan perkusi yang ritmis dan agak monoton, baik melodi maupu harmoni.

Adalah Hanafi dari Jurusan Karawitan, Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Padangpanjang, Sumatra Barat yang mengamati lagu-lagu batanghari sembilan yang dibawakan Sahilin, menjelaskan permainan gitar Sahilin memang unik. Pada lagu Nasib Muara Kuang, misalnya, ia bermain pada metrum (satuan irama yang ditentukan oleh jumlah dan tekanan suku kata dalam setiap baris puisi) yang berbeda-beda. Metrum awal mempunyai hitungan 4, pada bagian-bagian tertentu ia memainkan gitar pada hitungan 6 dan 10. Bahkan, ada yang muncul pada hitungan ganjil, seperti hitungan 5. Menurut Hanafi, yang sempat survei bersama Philip Yampolsky dari Ford Foundation, dalam lagu-lagunya, Sahilin tak mau terikat dengan pola-pola birama konvensional. Sahilin bermain dengan mengikuti frase-frase melodi yang pada dasarnya memiliki metrum berbeda walaupun pada bagian awal dinyatakan dengan hitungan 4 atau metrum empat per empat (4/4).

Menjaga Pesake Puyang
GENERASI seniman batanghari sembilan, terutama gitar tunggal, kian hari kian sedikit, katanya disebabkan tak mulusnya regenerasi musik dan lagu batanghari sembilan. Saat ini pelestari dan penjaga musik ini umumnya kaum tua, sedangkan kaum muda memposisikan batanghari sembilan sebagai musik yang sudah ketinggalan zaman dan susah di-download secara emosional maupun teknik. Minat mempelajari batanghari sembilan dari kalangan muda juga rendah. Hal ini bisa dilihat dari sedikitnya pemusik yang menekuni musik dan lagu ini. Masyarakat di Sumsel belum banyak tahu tentang kekuatan dan kelebihan musik batanghari sembilan. Mereka belum punya suatu gambaran utuh tentang musik dan lagu ini. Walaupun, umumnya, mereka pernah mendengar alunan petikan gitar tunggal. Karena itu, dibutuhkan suatu pemahaman musik batanghari sembilan melalui fonografi, misalnya. Pada saat sekarang, perkembangan musik batanghari sembilan, sedikit sekali dipahami, tergilas oleh musik modern. Kalau batanghari sembilan itu kian tidak diminati, dikuatirkan kita terlambat untuk memahami salah satu pesake (warisan) puyang.

Nampaknya, selain pakem batanghari sembilan tetap hidup, pengembangan musik dan lagu ini perlu mengarah kepada penyesuaian dan keperluan apresiasi masyarakat masa kini yang lebih dinamis dan perilaku yang serba cepat, maka tidak salah ada pertimbangan pengembangan musik batanghari sembilan mengarah pula kepada penempatan dinamika musikal sebagai dasar disain dramatik penggarapan musik itu sendiri. Menggarap konsep pengembangan musik daerah yang disesuaikan dengan keperluan sentuhan seni pertunjukan, berarti perlu proses kreatif seniman musik mengembangkan dan membuka peluang terhadap batanghari sembilan yang punya pola melodi ataupun ritme melankolis ini agar dapat mengisi bagian-bagian dalam komposisi warna musik baru yang lebih dinamis dan tidak meninggalkan roh dan kekuatan warna batanghari sembilan. Salah satu, grup musik di Sumsel yang tengah mempelajari, meneliti, dan mengusung konsep lagu-lagu daerah/etnik, (warna musik batanghari sembilan) dengan tetap mengandalkan kekuatan sound khas petikan gitar tunggal adalah Orkes Rejung Pesirah yang terbentuk pada awal tahun 2008 lalu.

Mungkin, grade kita mencoba apresiatif dululah terhadap kesenian ini tanpa meninggalkan kegemaran kita akan aliran musik tertentu, pop oke, dengan jazz kita tetap improvisasi, dengan rock kita buat dunia gaduh, dangdut apalagi, jangan sampai “senggol basah” lur, campursari monggo waelah, dengan house music, ngajak nganar coy, dengan batanghari sembilan, lanjut mang. Yang jelas, pesan dan muatan petatah-petiti syair dalam batanghari sembilan mungkin bermanfaat bagi kita.

Di beberapa daerah di Indonesia, seni musik daerah sudah mampu untuk meningkatkan jati diri bangsa, bahkan juga menjadi salah satu hal ketertarikan wisatawan mancanegara untuk berkunjung ke Indonesia. Hal ini dapat dilihat di Bali misalnya, seni musik gamelan Bali bukan hanya diminati oleh para seniman gamelan Bali saja, generasi mudanya yaitu anak-anak SD, SMP, maupun SMA cukup banyak yang menempa dirinya berlatih memainkan alat musik gamelan tersebut.

Di Sumsel, dapat dikatakan intensitas seni musik gitar tunggal tidak seintensif di Bali dan Jawa, namun tetap saja hal ini menunjukkan bahwa geliat upaya masyarakat untuk mempertahankannya tetap berlangsung. Asumsi selama ini, terkesan bahwa pemetik gitar tunggal hanya dari kalangan orang tua, ternyata ketika maping pemetik gitar tunggal amatir dalam Festival Gitar Tunggal yang diadakan tahun 2003 dan 2004 oleh kalangan pemusik muda di Kota Pagaralam, pesertanya sampai 65 orang? Dan mereka rata-rata dari kalangan muda.

Walaupun fakta pemetik gitar tunggal tetap hadir dan mengalir seperti di Pagaralam, belumlah dapat dijadikan barometer ada perkembangan yang signifikan. Atau peminat seni ini hanya hidup dan diminati di dusun-dusun Sumsel? Pretensi bahwa pemetik gitar tunggal batanghari sembilan cuma dari kalangan tua dan mulai kehilangan penjaganya, perlu dipertanyakan lagi. Namun tetap perlu dilakukan upaya-upaya konkret dari semua pihak, bukan saja dari budayawan atau seniman musik Sumsel tersebut, bahkan dari masyarakat umum untuk memberikan kontribusi nyata agar budaya musik batanghari sembilan dapat dipertahankan keberadaannya, seperti menjadikan batanghari sembilan sebagai muatan lokal dalam pelajaran seni musik, atau yang lebih nyata lagi budayakan nanggap gitar tunggal tidak hanya dalam event perkawinan saja. Apa yang telah dilakukan oleh stasiun televisi lokal di Palembang, dengan menampilkan seniman gitar tunggal juga patut diacungi jempol. Jadi sungguh ironis, ketika pembukaan Visit Musi 2008 lalu yang wah, seniman batanghari sembilan tidak mewarnai sungai Musi miliknya. Dengan kata lain, yang melukis pelangi di sungai Musi adalah wong Jakarta. Bah!

Sikap Seniman Sriwijaya

Kompas
Sabtu, 1 November 2008 | 02:09 WIB


Forum Seniman Sriwijaya (Foss), Jumat (31/10), menyatakan sikap terkait pelantikan Ketua Dewan Kesenian Sumatera Selatan (DKSS) yang akan dilaksanakan tanggal 4 November. Menurut Sekretaris Foss Ali Goik, pernyataan sikap itu muncul akibat sejumlah persoalan yang melanda organisasi DKSS. Oleh sebab itu, Foss menyampaikan tiga pernyataan sikap, pertama menolak penunjukan ketua DKSS tanpa mekanisme yang benar. Kedua, Foss meminta Gubernur Sumsel tidak melantik ketua DKSS yang diajukan oleh pelaksana tugas DKSS. Ketiga, Foss meminta segera dibentuk panitia persiapan Musyawarah Daerah Luar Biasa DKSS. (WAD)

Friday, October 17, 2008

Diskusi Masalah Teater di Palembang

KOMPAS 16 Oktober 2008.

Komunitas seniman di Palembang mengadakan diskusi perkembangan teater di Palembang dan persoalannya, Selasa (14/10), di Sekretariat Dewan Kesenian Palembang dalam rangka ulang tahun ke-16 Teater Gaung. Acara tersebut dimeriahkan pembacaan puisi dan cerpen serta pentas orkes Rejung Pesirah. Menurut penggiat teater Palembang, Toton Dai Permana, pada tahun 1980-an, gairah teater di Palembang sangat tinggi dan sampai sekarang masih dilakukan oleh Teater Gaung meskipun kelompok-kelompok teater yang lain sudah tak terdengar lagi kabarnya. Sayangnya, persoalan yang dihadapi penggiat teater di Palembang dari dulu sampai sekarang masih sama, yakni persoalan manajemen. (WAD)

Wednesday, October 15, 2008

DEPOSITO BANK SUMSEL DI INDOVER SUDAH DITARIK

Telah dicairkan semua tgl 18 Januari 2008 Tidak ada indikasi kerugian

DAMPAK- Krisis perekonomian yang sedang terjadi nampaknya tidak berpengaruh signifikan terhadap likuiditas Bank Sumsel. Bahkan bisa dipastikan likuiditas bank milik pemerintah daerah tersebut aman. Menurut Direktur Utama Bank Sumsel H Asfan Fikri Sanaf, krisis yang terjadi saat ini tidak berdampak negatif bagi bank yang dia pimpin. Karena, sejak awal tahun 2008 lalu, Bank Sumsel sudah menjaga Loan To Deposit Ratio (LDR) di posisi 40-50 persen. “ Itu artinya Bank Sumsel dalam kondisi over likuiditas, “ ujarnya saat press conference di kantor Bank Sumsel, kemarin. Senin 12 Oktober 2008 Terkait pemberitaan salah satu media yang mengatakan Bank Sumsel terkena imbas akibat menyimpan dana deposito senilai Rp 10 M di Bank Indover belanda Asfan menjelaskan bahwa hal tersebut tidak benar. Karena sejak Januari 2008 lalu, seluruh dana tersebut sudah ditarik atau dicairkan. “ Jadi tidak ada masalah, apalagi dampaknya terhadap kita,” ujarnya. Dipaparkannya, pada tahun 2007 lalu Bank Sumsel memang menempatkan deposito di Bank Indover, nilainya 1.165.000 USD atau sekitar Rp 10 Milyar.
Dana tersebut ditempatkan di bank tersebut secara bertahap mulai dari Mei 2007 hingga September 2007. Namun setelah jatuh tempo, dana tersebut juga dicairkan sesuai dengan jangka waktu dari 1 hingga 6 bulan. “ Terakhir 18 Januari 2008, semua dana yang jatuh tempo tersebut tidak diperpanjang kembali, “ tegas Asfan Fikri Sanaf

Monday, October 13, 2008

PUYANG KEMIRI: PESAN-PESAN, DAN ASAL USUL EMPATLAWANG

Oleh : Vebri Al Lintani
Direktur Lembaga Budaya Komunitas Batanghari 9 (KOBAR 9)


Dalam kisah-kisah Puyang, selain memuat asal usul, juga memuat pesan-pesan dasar yang menjadi aturan adat yang amat dipatuhi oleh masyarakat. Inilah yang disebut dengan pesan puyang. Satu diantara kisah puyang di wilayah Batanghari Sembilan adalah Puyang Kemiri yang diakui sebagai puyang (nenek moyang) orang-orang di dusun (sekarang desa) Kunduran, sebagian dari masyarakat dusun Simpang Perigi, dan sebagian masyarakat yang tersebar di dusun-dusun sekitar kecamatan Ulu Musi, Kabupaten Empat Lawang, daerah perbatasan antara provinsi Sumatera Selatan dan provinsi Bengkulu. Dahulu daerah ini merupakan bagian dari wilayah marga Tedajin. Berikut ini ringkasan cerita Puyang Kemiri.
Konon di masa akhir kejayaan kerajaan Majapahit, Rio Tabuan, seorang biku yang yang berasal dari negeri Biku Sembilan Pulau Jawa menelusuri sungai Rotan atau sungai Musi dengan membawa kerbau dan ayam berugo (ayam hutan). Ketika tiba di Kuto Kegelang, kedua hewan yang dibawanya berbunyi, maka di tempat inilah dia menetap. Kuto Kegelang berada beberapa kilo meter di hulu Dusun Kunduran.
Di Kuto Kegelang, dia mendapatkan tujuh orang anak yang bernama (1) Imam Rajo Besak, (2) Imam Rajo Kedum, (3) Seampai-ampai, (4) Maudaro, (5) Siap Melayang, (6) Robiah Sanggul Begelung (7) Serunting Sakti. Setelah mendapatkan tujuh orang anak, Puyang Rio Tabuan tidak lagi merasa kesepian. Anak-anak ini dimintanya dari Mastarijan Tali Nyawo, seorang penduduk yang tinggal di Surgo Batu Kembang.
Bertahun-tahun kemudian, Robiah Sanggul Gelung yang cantik dilarikan oleh Seniang Nago ketika mandi di tepian Sungai Musi. Robiah duduk di atas sebatang kayu yang rupanya samaran Seniang Nago dan kemudian pelan-pelan bergerak menjauh dan melarikannya ke Selabung.
Lalu Robiah disusul oleh Kerbau Putih, (seekor kerbau peliharaan Puyang Kemiri, atau penafsiran lain adalah seorang yang berjuluk Kerbau Putih karena kesaktiannya) untuk mencari Robiah, atas suruhan saudara-saudaranya.
Kerbau putih memulai pencariannya dengan menyelam di sana dan muncul di tepian coko (tepian mandi di seberang dusun Kunduran). Di tempat ini masih dapat dilihat bekas telapak kaki (tinjak) kerbau putih. Lalu dia menyelam lagi, muncul kedua kalinya di dusun Tapa dan kemudian menyelam lagi hingga ketiga kalinya di Selabung.
Pencarian Kerbau Putih ini berhasil menemukan Robiah tetapi tak berhasil membawakanya kembali ke Kuto Kegelang. Robiah sudah menikah dengan Seniang Nago. Lalu Kerbau putih segera pulang ke Kuto Kegelang. Sebagai tanda bukti bahwa dia sudah bertemu dengan Robiah, Kerbau Putih dibekali dengan seikat ilalang, seruas bambu, air garam, sebuah kemang, seekor kemuai (keong putih) serta pesan Puteri Robiah yang ditulisnya di tanduk Kerbau Putih.
Dalam perjalanan pulang, Kerbau Putih dihadang oleh kerbau Tanduk Emas dan kemudian dua kerbau ini berkelahi. Kerbau Putih kelelahan dan mati di dusun Tapa. Perbekalan yang dibawa olehnya berupa ilalang tertumpah dan tumbuh di daerah ini sehingga menjadi hamparan padang ilalang yang saat ini dikenal dengan nama Padang Pancuran Emas. Buah Kemang pun tumbuh dan bambu juga ikut tumbuh di atas tubuh Kerbau Putih. sedangkan Kemuai diantarkan oleh Puyang Dusun Tapa ke Kuto Kegelang dan sekaligus menyampaikan pesan tentang Robiah yang tertoreh di tanduk Kerbau Putih.
Berselang beberapa bulan kemudian, Robiah yang sudah memiliki seorang anak berniat pulang (begulang) ke Kuto Kegelang. Mendengar kabar Robiah akan begulang, semua saudara-saudaranya amat bahagia, dan segera bermusyawarah untuk mengadakan sedekahan (kenduri). Tetapi lain halnya dengan Serunting, di dalam hatinya masih menyimpan rasa sakit karena perlakuan Seniang Nago yang melarikan Robiah. Karena itu, ketika dia disuruh mencari ikan, dengan setengah hati dia pergi, dan baru kembali setelah kenduri usai.
Ketika kembali Serunting hanya membawa seruas bambu, seperti yang di bawanya semula. Tetapi ternyata, seruas bambu itu berisi ikan yang tidak habis-habisnya, semua bakul, keranjang bahkan kolam tidak dapat menampung ikan yang ditumpahkan dari seruas bambu tersebut. Imam Rajo Besak yang sedari mula sudah kesal dengan Serunting bertambah marah. Lalu Imam Rajo Besak melemparkan seruas bambu dengan sangat keras hingga melewati Bukit Lesung dan jatuh di sungai Pelupuh.
Serunting sakti jadi tersinggung dengan sikap kakak tertuanya ini lalu pergi dari rumah. Tinggallah Imam Rajo Besak dan ke empat saudaranya. Mereka hidup tenang dalam beberapa tahun. Lalu mereka diserang oleh segerombolan orang. Rumah mereka dibakar habis. Tetapi kelima puyang ini dengan kesaktiannya, tiba-tiba menghilang (silam) dari pandangan orang-orang.
Dalam sebuah rumah yang mereda dari kobaran api, tampaklah seorang anak yang duduk di tengah puing-puing rumah. Konon, anak itu bukan hangus tetapi malah menggigil karena kedinginan. Anak yang bernama Sesimbangan Dewo ini kemudian dipelihara oleh Puyang Talang Pito (daerah Rejang). Sesimbangan Dewo, artinya pengimbang puyang yang silam. Beberapa tahun dia dirawat oleh Puyang Talang Pito. Lalu dia mengembara selama sepuluh tahun ke negeri lain. Kemudian dia pulang ke sekitar dusun Kunduran, menetap di Muara Belimbing. Makamnya pun berada di Muara Belimbing.
Setelah beberapa tahun kemudian, Imam Rajo Besak menjelma kembali. Dia bertemu dengan Rajo Kedum dari Muaro Kalangan, Raden Alit dari Tanjung Raye, dan Puyang dari Muara Danau. Keempat orang ini kemudian dikenal dengan nama empat lawangan (empat pendekar) yang kemudian menjadi cikal bakal kata Empatlawang. Keempat sahabat kemudian menyerang kerajaan Tuban yang dipimpin oleh seorang ratu.
Dalam penyerangan yang dipimpin Imam Rajo besak sebagai panglima mereka mendapatkan kemenangan. Mereka berhasil memasuki istana dan mengambil beberapa benda yang berharga termasuk sebilah keris pusaka Ratu Tuban yang diambil sendiri oleh Rio Tabuan dengan ujung kujur (tombak) pusakanya, karena ketiga temannya tidak mampu. Kedua pusaka ini, hingga saat ini masih tersimpan di jurai tuo (keturunan yang memiliki garis lurus dengan puyang Imam Rajo Besak) yang tinggal di dusun Kunduran. Puyang Kemiri memberikan sumpah kepada keturunannya yang jika tidak dipatuhi akan mendapat keparat (kualat). Inilah 3 sumpah Puyang Kemiri : (1) beduo ati dalam dusun nedo selamat (berdua hati di dalam dusun tidak selamat), (2) masukkan risau dalam dusun nedo selamat (memasukkan pencuri di dalam dusun tidak selamat), (3) iri dengki di dalam dusun nedo selamat (iri dengki di dalam dusun tidak selamat).
Selain itu, puyang Kemiri pun memesankan tujuh larangan lagi, yakni: satu, nyapakan kaparan ke ayik (membuang sampah ke sungai), dua, mandi pakai baju dan celano (mandi memakai baju dan celana; biasanya orang di dusun kalau mandi memakai telasan (kain penutup tubuh yang dipakai khusus untuk mandi), tiga, buang air besar/kecil di atas pohon, empat, ngambik puntung tegantung (mengambil kayu bakar yang tergantung di pohon), lima, ngambik putung anyot (mengambil kayu bakar yang hanyut di sungai, enam, mekik-mekik di ayik dan di hutan (berteriak di hutan atau di sungai), tujuh, nganyotkan kukak gebung (menghanyutkan kulit rebung di sungai).

Analisis pesan
Jika mencermati ketiga sumpah puyang, pertama, agar seseorang tidak boleh bersikap mendua hati, artinya seseorang harus setia pada kesepakatan awal. Tidak boleh memasukkan pencuri atau berkhianat, apalagi menjadi pencuri betulan. Artinya kejujuran merupakan hal yang paling utama dalam meningkatkan kepribadian seorang manusia. Selanjutnya, anak cucu Puyang Kemiri harus bersih hati dari iri dan dengki. Ketiga, norma dasar ini merupakan sikap dasar yang harus dimiliki oleh orang yang baik.
Pada bagian kedua, poin satu, dan poin lima, umpamanya, pesan ini berspektif lingkungan. Bagaimana puyang-puyang dahulu telah memikirkan cara menjaga sungai dan melindungi hutan. Sungai dan hutan yang di dalamnya bergantung kehidupan tumbuh-tumbuhan dan hewan lainnya, merupakan satu mata rantai yang saling membutuhkan. Karenanya, mata rantai ini harus dijaga dalam garis keseimbangan. Simaklah larangan puyang yang tidak boleh membuang sampah di sungai, artinya jika membuang sampah tentu akan membuat sungai tercemar.
Poin lima, pesan puyang melarang orang mengambil kayu bakar yang hanyut di sungai. Jika direnungi lebih lanjut, larangan ini tidak hanya melarang orang mengambil kayu bakar tetapi sebenarnya juga tidak boleh menebang pohon di tepi sungai. Karena biasanya pohon yang hanyut di sungai adalah pohon yang diambil di tepi sungai, atau yang dihanyutkan melalui sungai. Saat ini, kita lihat betapa banyak orang-orang mengangkut gelondongan kayu yang tidak sah (illegal logging) di sungai. Jadi, tidak hanya kayu bakar tetapi kayu-kayu besar sudah dijarah oleh orang-orang yang serakah. Akibatnya bencana banjir menjadi langganan tahunan bagi masyarakat daerah ini.
Poin tujuh, puyang melarang seseorang menghanyutkan kulit rebung yang bermiang (bulu-bulu halus yang menempel di kulit rebung dan akan menyebabkan gatal-gatal jika terkena kulit manusia) di sungai. Maksudnya, kulit rebung yang mengandung miang jika dihanyutkan akan membuat miangnya hanyut dan jika ada orang yang mandi maka dia akan terkena miang yang dapat menyebabkan tubuhnya menjadi gatal. Selanjutnya, pada poin tiga, melarang orang membuang kotorannya di atas kayu. Takutnya jika ada orang lewat di bawahnya tentu akan membuat celaka juga. Jika dipahami lebih luas, poin tujuh adalah larangan puyang agar tidak berbuat yang dapat mengakibatkan orang lain celaka.
Poin dua, dan poin empat merupakan kiasan perbuatan yang dapat mencelakakan diri sendiri. Cobalah pikirkan, jika seseorang mandi pakai baju dan celana, tentu mandinya tidak dapat terlalu bersih dan jika tiba-tiba hanyut, tentu celana dan baju akan menjadi berat jika dibawa berenang. Begitu juga dengan mengambil kayu bakar yang tergantung, salah-salah akan menimpa dirinya.
Poin enam dilarang berteriak di sungai dan di hutan. Umumnya masyarakat di uluan Sumatra Selatan melarang berteriak di sungai dan di dalam hutan. Sebab, berteriak di dalam hutan akan mengganggu ketenangan hewan-hewan, dan bahkan bisa mengejutkan binatang buas. Jika binatang buas terkejut tentu saja akan mendatangkan celaka bagi diri sendiri.
Larangan-larangan puyang di atas sebagian besar bersumber dari cerita Puyang Kemiri itu sendiri, misalnya, tentang larangan mengambil kayu bakar yang hanyut, ini ada kaitannya dengan Puyang Seniang Nago yang menyamar menjadi sebatang kayu yang rebah di tepian. Begitu juga dengan sikap hati mendua, dan iri hati di dalam dusun. Hal ini ada kaitannya dengan cerita Puyang Serunting Sakti yang tidak ikhlas menjalankan tugas yang sudah disepakati dan diperintahkan oleh Imam Rajo Besak.
Pesan-pesan kearifan lokal seperti ini, jika dilihat secara substansi merupakan nilai-nilai yang universal dan bersumber dari adat. Tetapi seringkali, nilai-nilai yang berlaku secara adat, saat ini dianggap tidak masuk akal dan berbau kemenyan. Padahal, kearifan lokal seperti ini oleh masyarakat adat sangat dipatuhi. Karena mereka sangat yakin, apabila tidak dipatuhi akan mendatangkan balak (mala petaka). Dimana-mana seolah-olah mata puyang selalu mengawasi mereka. Hal ini sangat masuk akal. Saya kira, siapa pun yang melanggar ketentuan Puyang Kemiri akan tidak selamat dan tidak sempurna hidupnya. Bagaimana hidupnya mau selamat jika mendua hati (berhianat), pencuri, dan tidak jujur.
Dari sisi budaya, legenda Puyang Kemiri merupakan modal sosial budaya yang perlu dijaga. Sejatinyalah, legenda Puyang Kemiri merupakan sumber hukum adat yang memiliki nilai-nilai universal, menjunjung persatuan, menjunjung rasa hormat terhadap diri sendiri, rasa hormat terhadap orang lain dan terhadap lingkungan alam lainnya.
Selanjutnya tugas para agamawan dan budayawan menyambungkan substansi nilai-nilai tersebut dengan ajaran-ajaran agama Islam yang juga memiliki nilai-nilai yang sama, dan lalu menyambungkannya dengan nilai-nilai yang berkembang dalam era saat ini. Sehingga nilai adat dapat bersinergi dengan nilai agama dan nilai kebudayaan yang telah mengamali kegayauan (kegamangan).

BETOGOU: Petuah Dari Kayu agung

BETOGOU berarti “memberi petuah”. Sastra lisan ini hadir khusus untuk memberikan petuah bagi masyarakat Kayu Agung. Dengan bermodium bahasa Kayu Ayung dan bahasa Ogan, betogou memberikan tersendiri bagi masyarakat pendukungnya.
Dimasa lalu betogou hadir dengan cara bertembang atau dilagukan untuk menyuguhkan kisah kisah yang tidak saja memberikan hiburan bagi pendengarnya, tetapi lebih dari itu, ia hadir dan mengalir bersama kultur masyarakat pendukungnya untuk memberikan makna bagi masyarakat pendukungnya.
Tatkala cerita lisan tersebut dituturkan maka cerita lisan tersebut dinikmati pendengarnya, gagasan dan pesan yang hadir melalui penuturan mengandung manfaat. Paling tidask, pendengar dapat mengetahui gagasan atau jalinan cerita yang diturkan. Saat mendengar cerita lisan tersebut, pendengar dapat mengambil hikmah atau pelajaran dan tersentuh hati nuraninya, karena peristiwa yang digambarkan dalam cerita lisan yang dituturkan oleh penutur.
Betogou kini dituturkan seperti kita bercerita sehari-hari tampa berlagu atau bertembang namun charisma petuah dalam betogou tidaklah pudar.
Kebanyakan pendengar, pada saat selesai proses penuturan, ia tidak hanya merasa puas dan terhibur tetapi dapat pula mencoba mengambil manfaat dan menjadikan cerita tersebut sebagai teladan untuk melakukan keberpihakkan pada kebenaran, kebaikan, dan kejujuran serta menjauhi keserakahan, penindasan, bahkan kejahatan.
Cerita lisan yang popular dikalangan masyarakat Kayu Agung, antara lain Putri Berambut Putih asal Dusun Kayu Agung, Pahit Lidah, Batu Belah, Bati Jimat, Ratu Agung, lubuk Pengabai, dan Raden Keling. Cerita lisan ini tidak hanya berfungsi sebagai penghibur, tetapi juga sebagai alat pendidikan dan komunikasi kultur masyarakat pendukungnya. Manfaat betogou lebih bersifat psikis dan intelek yang berkaitan dengan pengayaan etika, moral, intelektual, dan hal lainnya yang abstrak namun dapat dirasakan serta menyentuh emosi dan pikiran manusia atau pun tempat masyarakat tempat betogou lahir, hidup sekaligus dihidupi dan menghidupi masyarakatnya. Betogou hadir bukan hanya untuk membangun semata mata dunia imajinatif. Lebih dari itu pendengar mempunyai “PR besar”. Pendengar diajak berpikir dan bercermin sembari mengadakan evaluasi atau intropeksi diri untuk memerangi segala sesuatu yang tidak baik bagi umat manusia, antara lain menjauhkan diri dari kejahatan, menegakkan kebenaran, dan menjunjung kemanusiaan. Seolah olah betogou hadir untuk mengajak masyarakat pendukungnya untuk meningkatkan kebajikan, meningkatkan moralitasnya, memperhalus etika, agar masyarakat lebih beradab.
Melalui gagasan dalam penuturan, betogou memberi kontribusi dalam kehidupan bermasyarakat tempat betogou lahir dan hadir. Tidak sembarang orang yang dapat menututurkan betogou melainkan ketua adat atau tokoh masyarakat. Biasanya kalau keluarga nenek atau kakek. Betogou hadir untuk memberikan nasehat atau petuah kepada anak anak atau cucunya dalam mengarungi hidup dan kehidupan ini. Melalui cerita lisan yang tengah popular ditengah masyarakat Kayu Agung akan ditemui nilai nilai yang sarat manfaat yang dapat dijadikan bekal oleh anak cucu dalam mengarungi kehidupan yang fana ini. Petuah itu tidak lain adalah mengajak anak cucu dan keluarga besar untuk menjalani kehidupan yang berpijak pada jalan kebenaran.
Penutur betogou biasanya sudah sangat fasih dalam menuturkan cerita cerita lisan yang akan dituturkan. Biasanya pada malam hari pada saaat bulan purnama dibalai balai rumah ataupun di dalam rumah tetua adat atau tokoh masyarakat akan memulai kisahnya. Kisah atau jalinan cerita tersebut akan dilantunkan sebagai pengisi waktu luang atau saat sengang di malam hari. Biasanya setelah shalat Isya’. Melalui betogou jalinan komunikasi antar penutur dan pendengar terjadi lewat “persentuhan” dengan cerita yang dilantunkan, maka tingkat pemahaman pendengar untuk menyerap pemahaman terhadap isi cerita atau kisah tersebut akan sangat bergantung pada pengalaman dan wawasan pendengar, semakin luas wawasan pendengar maka akan semakin luas pula pemahaman yang akan didapatnya. Sebagai fakta social betogou lahir tidak terlepas dari masyarakat kultur Kayu Agung. Cerita cerita yang dilantunkan dalam betogou merupakan gambaran kondisi sosiokultural masyarakatnya yang menjadi “cermin masyarakat”.
Cerita yang dituturkan menjadi recretio, sesuatu yang mempunyai makna bagi kehidupan manusia. Penutur betogou secara spontanitas dapat menuturkan cerita yang popular ditengah masyarakat Kayu Agung. Sebuah cerita lisan yang telah dituturkan akan bermakna jika makna yang terdapat dalam cerita tersebut dapat hidup dalam diri pendengarnya.
Penutur betogou merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam masyarakatnya. Ia lahir dan besar dalam lingkungan masyarakat tertentu. Tidaklah berlebihan jika penutur betogou memiliki pertalian yang erat dengan norma, kaidah, hukum, dan undang undang tertentu yang melekat pada dirinya. Kisah atau cerita yang terdapat dalam masyarakat Kayu Agung dapat pula diungkapkan melalui symbol symbol yang tersirat maupun terselubung yang tentu universal. Seiring berjalannya waktu, sayangnya tidak banyak pula orang yang dapat betogou.

NYANYIAN PANJANG BERIMA DAN LAMA

Sesuai dengan namanya, nyanyian panjang, penuturan lagu dengan irama tertentu, seperti nyanyian dengan penuturan yang memakan waktu yang lama, yaitu berjam jam lamanya. Nyanyian panjang merupakan salah satu genre atau bentuk folklore yang terdiri dari kata kata dan lagu, yang beredar secara lisan diantara para anggota kolektif tertentu, berbentuk tradisional, serta mempunyai banyak varian. Nyanyian panjang dikenal luas oleh masyarakat pendukungnya. Ia hidup dan dihidupi oleh masyarakat tempat sastra lisan itu lahir, tumbuh dan berkembang serta menjadi budaya yang tak terpisahkan dari masyarakatnya.
Nyanyian panjang berasal dari bermacam macam sumber dan timbul dari berbagai macam media tetapi identitas folklornya yang beredar dalam peredaran lisan (oaral transmission). Nyanyian panjang terkenal juga dengan nama tembang panjang atau njang panjang. Dengan berbagai tema yang disuguhkan penutur kepada pendengar, Nyanyian panjang mendapatkan tempat dihati masyarakat pendukungnya adalah Nyanyian panjang Raden Alit dan Nyanyian panjang Sejarah Saman Diwa. Kisah kedua Nyanyian panjang tersebut telah ” membumi” ditengah masyarakat pendukungnya. Saat ini, Nyanyian panjang telah muncul dengan cerita cerita lisan yang beragam tetapi unsur “kepahlawanan” dengan sosok yang memiliki kegagahan dengan keberanian dan kelebihan yang luar biasa menjadi suguhan menarik bagi pendengarnya.
Nyanyian panjang dituturkan dengan bahasa masyarakat setempat, seperti bahasa Ogan, Bahasa Belide, dan bahasa Enim.
Dimasa lalu Nyanyian panjang dituturkan saat panen telah tiba, saat ada hajatan masyarakat, seperti pesta pernikahan, pada acara khitanan dan pada saat kelahiran bayi bahkan kalau ada orang yang meninggal dunia.
Penutur Nyanyian panjang umumnya adalah laki laki berusia matang. Kira kira diatas tiga puluh tahun.
Dalam Nyanyian panjang, kata kata dan lagu merupakan dwi tunggal yang tak dapat terpisahkan. Ketika penutur melantunkan Nyanyian panjang, teks ( kata kata) selalu dinyanyikan atau dilagukan oleh informan dan jarang sekali hanya disanjakkan. Namun antara teks yang satu dengan yang lainnya tidak selalu dinyanyikan dengan lagu atau irama yang sama. Sering pula, lagu yang sama sering dipergunakan untuk menyanyikan beberapa teks Nyanyian panjang yang berbeda.
Sifat Nyanyian panjang sering kali berubah ubah baik bentuk maupun isi. Itu bagian yang tak terpisahkan dari budaya lisan. Nyanyian panjang merupakan milik kolektif masyarakatnya dan luas pula peredarannya karena disampaikan dari mulut ke mulut. Penyebarannya melalui lisan, sehingga dapat menimbulkan varian varian.
Nyanyian rakyat yang tergolong pada nyanyian rakyat sesungguhnya menurut Brunvad dalam The Study of American Foklore An introduction adalah
(a) nyanyian rakyat yang berfungsi adalah nyanyian rakyat yang kata kata dan lagunya memegang peranan yang sama penting.
(b) Nyanyian rakyat yang bersifat liris, yang merupakan pencetusan rasa haru pengarangnya yang anonym itu, tampa menceritakan kisah yang bersambung. Sifat yang khas ini dapat dijadikan ukuran untuk membedakan nyanyian rakyat liris yang sesungguhnya, karena yang terakhir justru menceritakan cerita yang bersambung. Banyak diantaranya yang mengungkapkan perasaaan sedih, putus asa karena kehilangan sesuatau atau cinta, sehingga menimbulkan keinginan keinginan yang tak mungkin tercapai.
(c) Nyanyian rakyat liris yang bukan sesungguhnya, yakni nyayian rakyat yang liriknya menceritakan kisah yang bersambung (coherent). Ke dalam jenis nyanyian nyayian seperti : Spiritual and other traditional religious song ( nyanyian rakyat yang bersifat kerohanian dan keagamaan lainya).
Tidak ada syarat tertentu untuk dapat menuturkan nyanyian panjang, namun itu tergantung dengan kisah yang akan dituturkan. Bagi penutur yang akan menuturkan Nyanyian panjang sejarah Saman Diwa harus punya hubungan darah dengan penutur sebelumnya. Selain itu, saat menuturkan Nyanyian panjang sejarah Saman Diwa sering kali penutur kesurupan. Maka ayakan padi berfungsi untuk dipukul pukulkan sebanyak tiga kali. Penutur yang akan menuturkan Nyanyian panjang sejarah Saman Diwa biasanya dengan berbagai sajen yang telah disiapkan terlebih dahulu. Sesajen tersebut berupa nasi pulut, ayam burik, pisang emas, serabi, bubur gemuk, beras kunyit, dan kemenyan.
Setelah sesajen disiapkan, mulailah penutur membakar kemenyan dengan membaca baca-babacan tertentu biasanya bacaan tersebut dalam bahasa Arab. Saat itulah penutur mulai mengingat jalinan kisah yang akan dituturkan secara lengkap dan dapat memangil roh roh orang yang telah meninggal dengan cara kesurupan. Mungkin, itu pulalah yang menjadi Nyanyian panjang jenis ini tidak dapat bertahan karena penonton tidak bisa mendengarkan jalinan cerita dan takut kalau kalau “ kena sasaran” penutur yang sedang kerasukan.

Sunday, July 20, 2008

GENEREASI PENERUS VS GENERASI TERUS MENERUS

Kamu yang sudah tua apa kabarmu
Katanya baru sembuh nyatanya sakit
Sakit ginjal dan encok sedikit syaraf
Hati hati pak tua istirahatlah
Di luar banyak angin.........
Sepengengal syair diatas yang dinyanyikan oleh kelompok Band Elpamas , kiranya Sangatlah pas dengan kondisi perpolitikan para seniman di Sumatera Selatan, polemik dimedia massa yang terjadi akhir-akhir ini, pasca berakhirnya Musyawarah Daerah Dewan kesenian Sumatera Selatan (Musda DKSS) yang berlangsung selama satu hari dihari dipertama sebelum jam 16.00 Wib, yang seharusnya dilakukan selama tiga hari 9-11 Juni 2008 di Hotel Swarna Dwipa, Proses persidangan sendiri tanpa melalui mekanisme persidangan yang benar lazimnya sebuah musda yang dilakukan oleh organisasi yang cukup besar sekelas Dewan Kesenian Sumatera Selatan, diantaranya pelaporan keuangan yang tidak transparan. Proses musda yang telah berjalan tidak sebagaimana mestinya tersebut telah berakhir dan dari hasil tersebut telah membentuk tim formatur untuk memilih kepengurusan baru yang terdiri dari lima orang, yakni : Djohan Hanafiah (DKSS), Toni Panggar Besi (Karo Kesra), Dra Norma (Dinas Budpar Propinsi Sumsel), R. Syahril Erwin (Dewan Kesenian Palembang), dan Ismet Inonu Singayudha (Dewan Kesenian Lahat), dan mulai bekarja selama satu minggu setelah tanggal ditetapkan.

Apa yang di kerjakan tim formature?

Semenjak tanggal ditetapnya tim formature pasca Musda Dewan Kesenian Sumatera Selatan tanggal 10 Juni 2008, seharus tim formature sudah mulai bekerja dan mulai memilih calon-calon mana saja yang cocok untuk duduk dikursi nomor satu Gubernurnya para seniman Sumatera Selatan. Setelah ditunggu tunggu hingga sekarang tanggal 20 Juli 2008 kerja tim formature belum juga kelihatan hasilnya, secara organisasi tim formature yang telah dibentuk tidak mampu bekerja secara baik, karena tim formature telah dimandatkan untuk memilih kepengerusan baru dalam tenggang waktu satu minggu setelah tanggal ditetapkan. Artinya tim Formature telah melanggar mekanisme yang ditetapkan dalam musda DKSS, sudah selayaknya tim Formature yang sudah terbentuk tersebut di bubarkan dan tampuk kepemimpinan sementara DKSS dikembalikan lagi kepada Pemerintahan Propinsi Sumatera Selatan.

Regenerasi kepengurusan dan perubahan Dewan Kesenian Sumatera Selatan

Pasca Musda DKSS dan mandulnya kerja tim formatur inilah polemik antara kaum muda dan tua mulai naik kepermukaaan. kelompok muda menginginkan pemimpin Dewan Kesenian Sumatera Selatan kedepan adalah sosok anak muda yang energik dan inovatip dan sebagai generasi penerus untuk memimpin para seniman di Sumatera Selatan, ide yang diusung kaum muda sanggatlah beralasan mereka menganggap kerja kerja yang dilakukan oleh pengurus DKSS terdahulu telah gagal, yang notabenenya kepengurusan terdahulu dipimpin oleh kelompok tua.
Disisi yang lain ada kelompok tua yang notabene adalah generasi terus menerus yang ingin mempertahankan kepemimpinan yang lama untuk tetap memimpin dan duduk menjadi orang no satu di Dewan Kesenian Sumatera Selatan. Seperti yang kita ketahui Dewan Kesenian Sumatera Selatan dibentuk untuk menaungi para seniman yang ada di Sumatera Selatan maka sudah sepantasnya fungsi DKSS dikembalikan ke hitanya, menjadi organisasi yang fungsinya melayani dan memafasiltasi bukan minta dilayani dan difasilitasi. Oleh sebab itu fungsi fungsi regenerasi adalah bagian yang terpenting dalam organisasi, artinya mandat tersebut harus dilaksanakan sebagai bagian dari proses demokrasi, jika proses regenerasi ini tidak dilakukan maka akan berdampak pada kualitas kepemimpinan DKSS, padahal tantangan yang akan dihadapi kedepan akan semakin berat.

Tuesday, July 8, 2008

Seniman Minta Tim Formature DKSS Dibubarkan

Perseteruan seniman dengan Djohan Hanafiah soal jabatan Dewan Kesenian Sumatera Selatan (DKSS), membuat tokoh teater Sumsel, H.Nurhasan “gatal” untuk ikut berbicara. Kalau selama ini dia hanya memilih diam sembari mengikuti perkembangan, ternyata hatinya terusik juga untuk sekedar menanggapi mandulnya kerja tim Formatur DKSS.
Menurut dia,ketidakberdayaan tim formature memilih sosok ketua DKSS periode 2008-2013, tampak sarat dengan kepentingan politis yang justru merugikan perspektif seni budaya di Sumatera Selatan.
Mengapa begitu? “ Yah, kalau seniman memang kepengen DKSS diketuai tokoh muda, berikan saja kesempatan itu kepada anak muda yang mampu berkesenian dan cocok memimpin manajemen kesenian. Mengapa juga orang tua seperti saya ini misalnya, harus repot-repot bertahan di posisi ketua,” ujar Nurhasan.
Kalau dalam perkembangan situasi yang tidak sehat itu muncul di DKSS, kata Nurhasan, sebaiknya orang tua mundur. Jika kepentingan hanya untuk mempertahankan kursi jabatan ketua DKSS, tandas Nurhasan, komitmen moral tokoh tua akan dapat ditakar oleh anak anak muda. Akibatnya, wibawa tokoh tua jadi tidak berharga sama sekali.
“ Apalagi muncul hujatan dan ketidakpercayaan seniman di surat surat kabar, inikan melecehkan eksistensi kita sebagai orang tua. Menurut saya, sebaiknya dengan sikap yang bijak, pak Djohan harus memberi kesempatan kepada orang muda. Kalaupun masih kepingin mengayomi anak anak muda di DKSS, yah, posisinya tidak harus duduk di kursi ketua. Bahkan, menjadi sosok pembina di DKSS jauh lebih terhormat dibanding harus menjadi ketua tim formature yang kemudian menunjuk diri sendiri agar diangkat menjadi ketua DKSS. Sikap seperti inikan tidak mendidik seniman muda kita, “ ujar tokoh teater di era tahun 1960-1970-an itu tersenyum.
Justru, katanya, dengan duduk manis sebagai pembina, akan dapat melihat sacara jernih kemampuan anak anak muda mengendalikan manajemen kesenian, “ apabila nantinya mereka melenceng dari tataran organisasi, orang tua seperti saya ini bisa “ menjewer kuping” tukas Nurhasan, ketawa lebar.
Dulu, ketika dia masih aktif di DKSS, tiap tahun ada festival tari , baca puisi, serta kegiatan seni budaya lainnya, terutama teater. “ Kegiatan ini murni dilakukan DKSS dengan melibatkan seniman disini. Sedangkan kami hanya bertindak sebagai fasilitator,” katanya.
Apa yang diungkap Nurhasan tersebut , menurut sekretaris Dewan Kesenian Kota Palembang ( DKP), Vebrie Al-Lintani, memperlihatkan sikap bijak yang penuh kematangan dari seorang Nurhasan, selama ia berkesenian.
Justru Vebrie tidak melihat keluhuran sikap seperti itu di diri Djohan Hanafiah. “ Saya kecewa terhadap pak Djohan. Orang yang selama ini disebut sebagai budayawan yang patut dihormati, justru merusak tatanan berkesenian didaerah ini. Ah, benar-benar kelewatan,” keluh Vebrie.
Sebagai pengemban amanat musda DKSS ( ketua tim formature) Djohan dinilai Vebrie tidak demokratis. Justru dia mempengaruhi pihak pihak yang dekat dengan dia untuk menunjuk dirinya kembali menjadi ketua DKSS periode kedepan. Itu artinya, kata Vebrie, ia sudah ia sudah tidak mempunyai kepekaan etika atau baso plembangnyo, dak katek raso malu ke dengan diri dewek.
“ Sudah cukup bukti selam lima tahun mengurus DKSS tidak ada prestasi yang dia toreh buat mengembangkan potensi seni disini. Jangankan untuk tujuan itu, AD/ART DKSS saja tidak mampu ia rumuskan. Inikan sebuah kecacatan sejarah DKSS,” tegasnya.
Dengan tidak memiliki landasan AD/ART organisasi, berarti musda DKSS yang digelar hari selasa (10/6) lalu di Hotel Swarna Dwipa itu, secara organisatoris cacat hukum, atau dengan kata lain, tidak sah. Menyingung ikhwal tim formature yang sudah lebih dari tujuh hari memegang mandat musda DKSS, hingga kini belum membuahkan hasil untuk memilih figur ketua, Vebrie mengangapnya sebagai upaya yang gagal total.
Akibat pergelaran musda yang buruk, menyebabkan munculnya tanggapan negatif dari para seniman. Bahkan, katanya, seluruh seniman yang tidak “membebek “ ke Djohan Hanafiah, ingin adanya perubahan dalam kepengurusan DKSS periode ke depan.
“ Seniman tidak percaya lagi pada kinerja tim formature. Saya juga mencium adanya gelagat untuk merekayasa keadaan, agar pengurus lama duduk kembali ke posnya masing-masing. Kalau itu maksud rekayasanya, lebih baik tim formature dibubarkan saja. Jangan sampai terjadi gejolak yang lebih besar dikalangan seniman. Sedangkan kendali kepengurusan DKSS kembalikan ke Pempov ( Biro Kesra ), agar dibentuk kepanitian musyawarah seniman di dewan kesenian se-Seumsel. Dengan begitu akan tercipta suasana yang kondusif,” Pungkas Vebri. (an)

Tuesday, July 1, 2008

Tim Formatur Langgar Mandat Musda DKSS

MANDULNYA kerja tim formatur pemilihan ketua Dewan Kesenian Sumatera Selatan (DKSS) pasca-Musda DKSS 10-11 Juni 2008, mendapat tanggapan buruk dari kalangan seniman. Menurut perupa Sirojudin (Sirodj), Djohan Hanafiah harus bertanggung jawab atas kegagalannya melaksanakan mandat musda. ‘’Harusnya tenggat waktu selama sepekan yang diputuskan musda untuk memilih ketua DKSS, sudah ada hasilnya. Ini mana? Jadi, apa kerja tim perumus (formatur) untuk mengusung mandat musda? Apakah lima orang yang ditunjuk sebagai formatur itu kerjanya hanya tidur? Dalam kondisi begitu, saya jadi curiga, barangkali ada kongkalikong untuk mendudukkan kembali Pak Djohan sebagai ketua. Ah, ini tidak beres,’’ tegas Sirojudin.Tim formatur yang terdiri dari Djohan Hanafiah (DKSS), Toni Panggarbesi (Biro Kesra), R Syahril Erwin (DKP), Dra Norma (Disbudpar), dan Ismet (DK Lahat), dinilainya mandul. Sebab, katanya, setelah tujuh hari, seharusnya tim formatur sudah mengumumkan tokoh yang pantas memajukan DKSS. ‘’Itu artinya, tim perumus sudah melanggar ketentuan Musda DKSS. Itu kita sadari, lembaga DKSS dan kepengurusannya itu bekerja atas dasar surat keputusan (SK) pemerintah (gubernur). Jika tim perumus belum menetapkan seorang tokoh untuk menduduki jabatan ketua DKSS, berarti mereka telah melecehkan SK Gubernur,’’ ujar Sirojudin yang akrab dipanggil Sirodj.Sirodj juga menyesalkan pelaksanaan Musda DKSS digelar secara ‘’diam-diam’’ (dadakan). Sebab, katanya, sebagai seniman yang berkiprah di sini, ia tidak pernah tahu adanya Musda DKSS yang digelar Selasa (10/6). ‘’Harusnya, sebelum musda itu digelar, program itu disosialisasikan dulu ke para seniman. Ini tidak jelas, tahu-tahu musdanya sudah digelar. Saya jadi curiga dengan perhelatan itu’’.Menurut dia, seniman yang tidak ‘’membebek’’ tak ingin Djohan duduk kembali sebagai ketua DKSS, karena selama lima tahun kepengurusannya, kebijakan Djohan dinilainya tidak aspiratif dan tak berpihak kepada seniman.Kalaupun ada kegiatan, katanya, bentuknya ngocok dewek, netak dewek, dan mbagi dewek. Dengan kata lain, yang melaksanakannya bukan seniman dari sanggar-sanggar seni yang ada di Sumsel, tapi pengurus DKSS sendiri yang mengerjakan proyek itu. ‘’Inikan tidak benar. Apakah mereka tidak mengerti dengan posisinya di DKSS, atau mereka ecak-ecak pekak menanggapi keluhan seniman’’.Sebagai pekerja di lembaga kesenian, pengurus DKSS harusnya bertindak sebagai fasilitator. Kalau pun mereka ada gagasan untuk melaksanakan proyek kegiatan, pelaksanaannya harus diserahkan ke seniman. Maka itu, kata Siroj, untuk mewujudkan DKSS menjadi milik seniman, jabatan ketua harus diserahkan kepada tokoh muda yang mengerti seni dan paham mengendalikan manajemen kesenian.Dalam kesempatan wawancara kemarin, Sirodj mengimbau seluruh seniman Sumsel untuk mengajukan mosi protes terhadap kinerja tim formatur yang dinilainya sudah melanggar mandat musda. ‘’Dalam konteks ini, seluruh ketua dewan kesenian se-Sumsel harus bersikap tegas menyikapi kemandulan tim formatur. Jangan sampai keputusan tim formatur hanya menyajikan seorang tokoh yang diibaratkan membeli kucing dalam karung. Jika ini terjadi, kita harus mengajukan mosi tidak percaya,’’ tandas Sirojudin.Sebagai perupa, katanya, sejak DKSS diurus Djohan Hanafiah (periode 2003-2008), tak pernah ada tawaran program kerja yang ia terima. Yang ia ketahui, DKSS hanya melakukan program kerja tempelan, dengan cara menyantel program lembaga lain. ‘’Misalnya HUT TNI, temu sastrawan dunia, serta program lain yang bukan murni kegiatan DKSS. Berarti, pengurus DKSS tidak punya visi yang cerdas untuk melaksanakan program kesenian bagi pemberdayaan seniman di sini. Realita ini sangat menyedihkan. Makanya, untuk periode ke depan kita harus merombak kepengurusan DKSS dengan cara mengganti ketuanya dengan tokoh muda yang mengerti seni dan pahan manajemen kesenian. Ini harus kita lakukan,’’ pungkas Sirojudin. (tj/an)

Saturday, June 14, 2008

DKSS tak Punya AD/ART

DESAKAN Forum Seniman Sriwijaya (FSS) yang menginginkan adanya pergantian Ketua Dewan Kesenian Sumatera Selatan (DKSS) dalam musda organisasi tersebut, menurut penyair dan seniman teater Anto Narasoma, merupakan dinamika positif yang harus berkembang di kalangan seniman.
Namun menurut Anto, keinginan itu harus disampaikan secara bijak dengan ungkapan santun dan menyejukkan suasana. ‘’Seniman itu intelektual lho. Jadi, untuk menyampaikan agar dalam Musda DKSS dilakukan pergantian ketua, sampaikan saja dengan cara yang santun dan bermartabat,’’ kata Anto.
Di belahan bumi mana pun, katanya, dalam berorganisasi, keinginan adanya usul perbaikan kepengurusan di tubuh sebuah organisasi, pasti muncul ke permukaan. ‘’Tapi hal itu tidak harus diumbar dengan cara marah-marah dan mencaci maki seseorang, sehingga dapat mencederai perasaan orang lain,’’ tuturnya.
Anto yakin, seorang Djohan Hanafiah yang dituakan dalam blantika seni budaya di Sumatera Selatan, merupakan orang bijak dan tahu diri dengan perkembangan situasi. Dalam konteks tersebut, Anto menyarankan kepada seluruh seniman yang tergabung dalam FSS untuk melakukan rembuk dari hati ke hati kepada pengurus DKSS, sehingga dicapai kesepakatan bagi pembaharuan itu.
‘’Setahu saya, Pak Djohan itu bukan tipe orang yang rakus kekuasaan, kok. Sepanjang kita mampu membangun komitmen untuk mengembangkan apresiasi seni-budaya di sini, Pak Djohan pasti rela memberi kesempatan kepada yang lebih muda untuk mengurus DKSS pada periode mendatang,’’ katanya.
Namun plus-minus selama periode kepengerusannya tentu saja ada. Sebab, tidak ada seorang manusia pun di dunia ini yang sempurna. Namun dengan segenap kelebihan dan kekurangan itu pula seorang Djohan dengan bijak akan memberi peluang kepada mereka yang muda dan mampu memimpin untuk menggantikan posisinya sebagai ketua DKSS periode mendatang.
Saat disinggung bahwa hingga kini DKSS tak memiliki AD/ART, Anto sempat kaget. Namun ia berharap untuk periode ke depan DKSS harus memiliki Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART). ‘’Lucu kan kalau organisasi sekelas DKSS tidak memiliki AD/ART. Sedangkan organisasi kematian tingkat RT saja punya AD/ART. Ini harus segera dirumuskan agar aktivitas DKSS semakin berkualitas’’.
Sebagai seniman, Anto juga banyak menyorot perihal keberhasilan Dewan Kesenian Palembang (DKP) mengenai program kerjanya. Dengan landasan AD/ART yang kuat, DKP berhasil menggelar sejumlah kegiatan seni dan penghargaan kepada seniman Kota Palembang. ‘’Bahkan, selama kepemimpinan Yayak, misi DKP untuk memasukkan program kerjanya dalam APBD Kota Palembang, berhasil dilakukan. Saya pikir, orang muda yang komitmen seperti Yayak bagus juga diajukan sebagai kandidat ketua DKSS periode mendatang. Itu pun kalau dia bersedia,’’ pungkas Anto.
Sementara Muhsin Fajri, seniman teater, ketika jumpa pers beberapa waktu lalu, mengatakan, pergantian kepemimpinan DKSS hendaknya dilakukan secara terbuka. DKSS merupakan wadah para seniman, maka semua seniman harus dilibatkan dalam pemilihan ketua yang baru.
‘’DKSS itu kan wadah, mestinya juga harus bisa mewadahi aspirasi para seniman tanpa membeda-bedakan seniman itu sendiri. Seniman tidak hanya seni sastra atau teater, tapi juga ada seniman musik, tari, seni rupa dan lain-lain. Mereka harus dilibatkan,’’ ujar Muhsin.
Hal senada juga dikatakan Jonhar Saat yang selama ini masih eksis memimpin teater tradisional Dulmuluk. Dia menghendaki adanya kepemimpinan yang peduli dengan ‘rakyat’ (seniman—Red) yang dipimpinanya. ‘’Pemilihan ketua DKSS tak lebih seperti pemilihan walikota atau gubernur. Kita berharap ketua nanti harus bisa memperhatikan para seniman. Apalagi yang namanya seni tradisional, kalau nggak diperhatikan, pasti punah,’’ ujar Jonhar. (tj)

Monday, May 19, 2008

Mencari Sisa “Benang Setukal”

Aku ndak ganjur pule guritan
Aku ndak nebah karang pantunan
Pantunan mane kan ku tebah
Ay, ndilah kamu jeme banyak
Ade pantunan “benang setukal”
Badan kah nutur benang setukal

Mane li kundu benang setukal
Iluk sesaut nggah sesangi
Iluk mancean nggah rupuk-an
Ndak menaw mpak nggah imbean
Ndak menaw lagu kundang-kance

Penggalan di atas merupakan Sastra Tutur Guritan yang dituturkan oleh Achmad Bastari Suan pada acara Pergelaran Kesenian Sumsel yang bertajuk “Tutur Tenun Batanghari Sembilan” pada pameran tenun tradisional Nusantara “Adi Wastra Nusantara 2008”, mengantarkan fashion show dari Rumah Busana Tria. Pameran ini berlangsung dari tanggal 16 April sampai 20 April 2008, dan diikuti oleh stand dari berbagai Propinsi di Nusantara.
Secara keseluruhan isi guritan masih susah difahami oleh penonton Adi Wastra Nusantara yang sebagian besar adalah pecinta kain, desainer, perancang mode, dan ahli-ahli wastra. Tetapi irama guritan yang mendayu dayu mungkin cukup menarik perhatian untuk disimak, karena merupakan bentuk yang tidak lazim ditampilkan pada acara pameran tenun kali ini yang lebih banyak didominasi oleh peragaan busana, oleh perancang terkenal seperti Guruh Soekarno Putra, Didi Budiarjo, Deni Wirawan, Oscar Lawalata, Ghea Panggabean dll. Karena secara substansi guritan yang dibawakan oleh Achmad Bastari Suan dan Orkes Rejung Pesirah ini paling tidak menarik minat stasiun TV Lokal Astro Awani, untuk menggali keunikan ragam guritan “benang setukal” ini, serta musik batanghari sembilan.
Substansi guritan tentang “Benang Setukal” menceritakan tentang sebuah “jiwa” benang yang banyak mengilhami terciptanya warna-warni dan motif kain tenun tradisional di daerah Sumatera Selatan. Menceritakan perumpamaan manusia seperti benang setukal yang dipersonifikasi seperti layaknya manusia untuk berbuat kebajikan, sehingga berusaha meniru cara yang baik teman-temannya. Makanya benang setukal ini berusaha merubah dirinya menjadi Benang Merah. Sehingga dia bertapa di tempat pohon pacar (kim hong) yang banyak tumbuh, selama tujuh hari delapan malam. Sehingga berubah warna menjadi Benang Merah.
Meskipun demikian rencananya dan cita-citanya semakin tinggi dan semakin kuat, niatnya asal dapat meniru kebaikan orang, meniru prilaku teman-temannya yang berbuat baik. Kali ini benang setukal ingin menjadi benang kuning.
Maka bertapalah dia di rumpun kunyit, habislah tujuh hari, delapan malam, kemudian berubah menjadi benang kuning. Meskipun sudah menjadi benang kuning, cita-citanya tidak berhenti sampai disitu saja, demikian pula doanya. Maka dia berpikir tanpa henti sampai akhirnya dia masuk ke dalam bakul peralatan tenun. Tujuannya masuk ke bakul perlengkapan itu, sebagai siasatnya agar dimanfaatkan oleh pengrajin sesuai maksudnya ingin menjadi busana, seperti sampang, selendang, pelung pelangi, kain tajung dan sebagainya asal bermanfaat.
Itulah cita-cita Benang Setukal. Kalau ada remaja putri hendak bertenun manfaatkanlah dirinya benang setukal yang sudah berwarna-warni. Begitulah ceritanya. Ungkapan guritan ini sangat menarik menceritakan tentang falsafah benang yang melalui proses dan waktu yang panjang untuk menjadi tenunan yang berwarna-warni. Dia diambil oleh pengrajin, lalu dia ditenun oleh remaja putri, dibuat kain, dibuat baju, dibuat sampang, selendang pelung, pelangi. Setelah selesai ditenun menjadi pakaian gadis-gadis cantik, menjadi pakaian remaja putri disenangi ibu-ibu dan janda-janda muda.
Sisa Benang Setukal
Dari guritan tentang benang setukal tadi, ada pesan kebajikan yang hendak disampaikan kepada pendengarnya. Bahwa hasil tenun, merupakan sebuah mahakarya yang dibuat dengan semangat dan cinta, mulai dari proses pewarnaan, sampai menjadi motif warna-warni. Pesan yang hendak disampaikan di sini bahwa pada prinsipnya manusia itu harus berproses untuk melakukan perubahan nilai (value of exchange), menjadi lebih baik, menjadi lebih kreatif, menjadi lebih bernilai, sehingga dapat bermanfaat bagi masyarakat luas.
Dalam kondisi budaya yang sangat plural saaat ini, tentunya ada upaya untuk mencari sisa semangat dan kebajikan benang setukal, sebagai penanda yang unik dari satu ciri budaya tempatan. Apakah diprosesi pewarnaanya, apakah di prosesi “cukitan” atau motif-motif lain yang dikembangkan. Sehingga kearifan tempatan seperti tradisi menenun ini dapat memberikan banyak inspirasi, bukan hanya di prosesi tenunan, tetapi juga sebagai bagian ungkapan, seni pertunjukan, irama, dan bentuk budaya lainnya. Dalam industri pariwisata menjual sebuah prosesi kulinerpun menjadi menarik dan menghasilkan devisa.
Jika kita melihat trend busana di Pulau Jawa, gerakan kepada perubahan nilai dan bentukpun tampaknya menunjukkan perkembangan yang baik terutama motif batik. Saat ini telah banyak digali oleh desainer berbakat di Jakarta, yang sudah jauh lebih berkembang, teknik-teknik menggunakan “malam” dengan “canting” atau membatik sudah dikenal luas oleh komunitas batik di Indonesia. Hal ini juga didukung dengan terlibatnya desainer berbakat di Indonesia untuk menggunakan teknik membatik, apakah batik tulis atau batik cap (printing) ke berbagai media busana sehari-hari, dari bahan katun, kulit, jeans dan lain-lain. Sehingga terkesan casual, cozy, sementara semangat benang setukal sudah berkembang seperti itu, apakah bahan tenun tersebut berasal dari tanaman perdu, atau kapas untuk songket, apakah menjadi fokus komunitas songket/kain tenun di Sumsel. Diluar prosesi pembuatan itu sendiri, misalnya memberi makna dari prosesi menenun songket, membuat kain pelangi (jumputan).
Yang menarik mungkin proses penggalian tentu tidak saja menjadi objek penggalian, pengrajin penenun atau desainer songket semata. Tetapi dia juga harus menjadi objek penggalian budayawan Sumsel, mengingat keluaran dari selembar songket merupakan gabungan dari tradisi lokal yang mencakup banyak unsur kepercayaan, adat istiadat, prosesi, bahasa, bahkan nada-nada purba, mulai pewarnaaan, teknik desain, dan ritual-ritual tenunan yang mungkin terbilang unik. Sehingga A Bastari Suan menggunakan sambang yang sudah ditulisi hoeroef oloe, sebagai properti dalam bentuk guritan tentang ritual tenun masyarakat besemah tempo doeloe.
Harapan kita sebentar lagi ada desainer Sumsel yang mengangkat kekayaan aksara

“Hoeroef Oloe” menjadi salah satu bentuk kekayaan tekstil Sumatera Selatan sebagai warisan semangat benang setukal.


Iluk bagian Benang Setukal
Tuwah jaye ngatun gale
Kenan diambil li pepandin
Kenan ditenun parejake
Kenan diuwat kain-baju
Sampang, selindang, pelung, pelangi
Lah ude kenan ditenun
Njadi dandanan gadis alap
Njadi pakay parejake

Saturday, May 3, 2008

Konser Gitar “Salah Setem”

Oleh: Syam Asinar Radjam

Bagaimana jadinya kalau gitar “salah setem” dimainkan? Jadilah irama Batanghari Sembilan। Musik etnik nan memesona dari ranah Sumatera Selatan. “Salah setem” kok memesona? Bukannya super duper acak kadul bikin sakit telinga?

Ketimbang menduga-duga, datang saja ke Balai Sidang Jakarta (Hall A dan B) sore nanti (17/04/08). Orkes “Rejung Pesirah” dari Palembang akan mempertunjukkan bahwa dugaan tadi bisa keliru 100%.

Orkes “Rejung Pesirah” yang digawangi oleh Vebri Al Lintani, Ali Goik, dan kawan-kawan akan membawakan beberapa lagu dalam irama batanghari 9. Kelompok musik ini memainkan beberapa gitar salah setem, dalam artian “seteman” tidak standar secara bersama. Uniknya, masing-masing seteman gitar tersebut berbeda satu sama lain.

Tadi malam, ketika ditemui dusunlaman, Vebri Al Lintani dan Ali Goik memperlihatkan teknik bermain gitar salah setem itu. Ketika ditanya chord/kunci apa yang mereka pakai pada lagu-lagu yang mereka mainkan, keduanya hanya tergelak.

“Entah,” jawab Ali. “Begini saja, untuk lagu Kaos Lampu yang juga sering disebut “Buruk tegantung” alias “Bujang Tue”, kita pakai kunci (chord) Kaos Lampu,” tambahnya.

“Ini namanya kunci merapi,” sahut Vebri sambil memainkan sepotong lagu Merapi.

“Mau lebih dengar lebih banyak, datang besok sore, ya. Jam 5 sore,” undang Vebri.

Selain konser gitar “salah setem”, kafilah budaya dari tanah dengan sembilan sungai besar ini akan menampilkan sastra tutur “Guritan” dan pentas Tari Tradisional. Pergelaran ini selenggarakan sebagai bagian dari event “Adiwastra Nusantara 2008”.###

Wednesday, February 13, 2008

Kaukus Seniman Palembang


Orkes Rejung Pesirah berkolaborasi dengan Kamsul A Harla Penyair dan pencipta lagu
pada acara Munggah Seni 1 Muharam 1429 H

Personil Orkes Rejung Pesirah




KOLABORASI ORKES REJUNG PESIRAH DENGAN FILUZ YAKWA


Kolaborasi Orkes Rejung Pesirah dengan Filuz yakwa Pada Acara Wisuda
Sekolah Demokrasi 7/2/08 di
Museum Balaputera Dewa Palembang

KOLABORASI MUSIK, LUKIS, PUISI DAN TARI



Orkes Rejung Pesirah Berkolaborasi dengan Seniman Lukis Suharno
dan Sanggar Tari Dadoe Dalam Acara Dialog dan Apresiasi seni
Seniman dan Budayawan Sumsel di Ballroom Aston

Curhatnya Para Seniman Sumsel

• Dialog Apresiasi Seni-Budaya Sumsel


Enam orang penari Sanggar Tari Dadoe turun dari panggung, memberi salam hormat, dan mengajak tamu menari bersama. Di atas panggung, Suharno menggores cat merah mengakhiri lukisan 'Seribu Wajah Ibu Pertiwi'. Irama Musik 'gado-gado' Orkes Rejung Pesirah pun berhenti berganti tepuk tangan audiens. Kekayaan seni dan budaya Sumsel sungguh memikat. Seperti dipertunjukan seniman dalam acara Dialog Apresiasi Seni Seniman Budayawan Sumsel di Ballroom Hotel Aston Palembang, Jumat (8/2) malam lalu. Satu kreasi yang memadukan keanekaragaman seni budaya lampau tetapi dikemas secara kekinian. Pementasan diawali oleh Suharno, pelukis kondang kelahiran Palembang 3 April 1948, dengan menggoreskan cat ungu ke papan putih berukuran 3 m x 3 m. Ia mulai melukis ‘Seribu Wajah Ibu Pertiwi’. Ketika cat digoreskan, punggawa Orkes Rejung pesirah yang duduk di sisi kanan panggung langsung memainkan musik tradisional. Tiga orang perempuan cantik berkebaya merah, biru, dan hijau didampingi tiga pria gagah berpakaian serupa, naik ke atas panggung. Gerakan tubuh meliuk lentur dan terkadang kaku menggambarkan kegembiraan masa remaja. Sementara Suharno masih asyik menggoreskan cat ke kanvas, Febri Al Lintani membacakan puisi ‘Tragedi Suara Rakyat’. Pertunjukan satu panggung yang memukau. Silih berganti irama musik dari gitar, biola, tifa, gendang, kerincingan, dan rebana yang dimainkan Orkes Rejung Pesirah menggiring Suharno, Febri Al Lintani, dan keenam penari tadi. Irama menghentak, slow, dan balada mengantar audiens pada suasana nan syahdu. Uniknya, instrumental melayu yang dimainkan sudah sering kita dengar. Ada Gending Sriwijaya, Batanghari Sembilan, Ribu-ribu, Guritan, Antan Delapan, dan beberapa lagu daerah Sumsel lainnya. “Pementasan ini adalah perpaduan jenis musik Sumsel yang dikemas kekinian. Rejung dalam bahasa Lahat berarti tembang. Kami menyajikan perpaduan tembang itu,” kata Ana, pembawa acara memerkenalkannya di awal pementasan. Udara dingin ruangan ber-AC terasa semakin dingin ketika Febri Al Lintani membacakan puisi ‘Tragedi Suara Rakyat’ yang menggambarkan betapa susahnya warga mencari sesuap nasi, sementara para elite politik yang (katanya) pro rakyat lebih banyak mengumbar janji. Tiga puluh menit berlalu. Di atas panggung Suharno menggores cat merah mengakhiri ‘tarian’ tangannya. Irama musik Orkes Rejung Pesirah pun berhenti berganti riuh teouk tangan audiens. Pementasan usai, menyisakan lukisan ‘Seribu Wajah Ibu Pertiwi’. Sebuah lukisan yang menggambarkan tubuh wanita telanjang di bawah tatapan mata seribu kepala. Alex Noerdin, Bupati Musi Banyuasin yang ikut menyaksikannya pertunjukan itu bersama ratusan seniman dan budayawan Sumsel mengaku terpukau. Ia bahkan berpikir lebih jauh, jika dikemas sedara profesional kekayaan seni dan budaya Sumsel punya peluang untuk merebut ‘pasar seni’ internasional.
“Luar biasa kreasi seniman. Pagelaran seperti tadi itu, kalau dibawa ke Singapura, ke Thailand, pasti dihargai. Nanti kita bikin filmnya,” kata Alex.
Menggugat Satu malam yang disebut sebagai tonggak awal kebangkitan seniman dan budayawan di Sumsel. Dalam dialog, para seniman dan budayawan banyak menyuarakan kekecewaan mereka karena merasa tersisih, dianaktirikan tanpa mendapat perhatian penuh. Tidak ada fasilitas penunjang untuk mereka tetap berkreasi dengan nyaman. Selama ini, kata Febri Al Lintani dalam kata sambutannya, dialog resmi seni dan budaya tidak pernah digelar di level politik, disinggung pun tidak oleh anggota dewan. Seniman dan budayawan menuntut pemerintah daerah untuk membuat Perda khusus kesenian dan kebudayaan. “Dengan itu, system berkesenian akan lebih baik. Ini sudah pernah kita bahas dalam pertemuan lalu. Malu kalau sampai kita harus belajar seni dan budaya kita sendiri ke luar negeri,” ujarnya. Para pengambil kebijakan dinilai telah tertular virus modernisasi hingga melupakan budaya daerah. Padahal, ujar Febri Al Lintani, boleh saja teknologi semakin tinggi, boleh saja kita ikut globalisasi, tapi kebudayaan janganlah sampai pupus. Gairah ratusan seniman dan budayawan yang hadir malam itu langsung memuncak. Mereka sepakat, ke depan, seni dan budaya harus mendapat porsi lebih. Pun begitu buah pemikiran yang dilontarkan tokoh pers, Ismail Djalili. “Jangan tanya anak Musi bagaimana menabuh rebana, sebab Bapak lebih suka menabuh drum,” kata Rizal, salah seorang seniman yang berkesempatan mempersembahkan puisi berjudul ‘Interogasi Budaya’. Kegundahan hati para seniman itu disampaikan pada Alex Noerdin pada sesi dialog. Alex saat menjabat sebagai Kepala Dinas Pariwisata Kota Palembang (1994-199) pernah mendirikan ‘pasar seni’, tetapi belakangan kegiatan itu menghilang. Sesungguhnya, penulis tidak begitu mengerti seni dan budaya meski sangat menikmatinya. Melihat pementasan malam itu, sungguh tidak adil (kalau memang benar adanya) seniman dan budayawan dianaktirikan. Bukankah bangsa ini dibangun dengan keanekaragaman seni dan budaya? ”Bukan maksud menyakiti, sekedar sentilan dari seorang kawan,” begitu Febri Al Lintani mengakhiri tembangnya, malam itu***

Tuesday, January 22, 2008

Mewarnai Ketek Sembari Menari


CUKUP unik acara Pesirah Warnoi Sungai Kito yang digelar Bank Sumsel di Dermaga Benteng Kuto Besak (BKB) kemarin. Lima pelukis Dewan Kesenian Palembang (DKP) mewarnai perahu ketek diiringi ensamble gerak, musik, serta pantun dan puisi 20 anak-anak teater Gaung dan Orkes Rejung Pesirah. Jika terus dilaksanakan secara periodik, acara serupa itu bisa jadi menarik perhatian wisatawan lokal dan mancanegara.
Kolaborasi seni teater, musik, dan melukis yang disuguhkan tidak hanya menghasilkan tiga perahu ketek bernaunsa dekoratif, abstrak, dan kontenporer saja. Lebih dari itu, penampilan mereka telah menjadi pertunjukan yang menarik. Puluhan warga yang ada di pelataran BKB dan di Sungai Musi beberapa kali memberi aplus meriah, terhibur oleh aksi seniman yang dibungkus dalam tajuk performa art itu.
Performa art ini melibatkan sekitar 40 seniman, diantaranya Komunitas Orkes Rejung Pesirah ( Ali Goik, iir Stones, Udin, Ludi, Veto, sawal, Indra dan Vebri Al Lintani ) , anak-anak teater Gaung, Kelompok Pelukis DKP, serta siswa seni rupa SMK 7 Palembang. Lima pelukis DKP; Hiban, Agus Fajar, Mat Cipit, Nasir, dan Azis --yang juga berada di bawah bendera Mir Senen Galeri-- menggerakkan kuas cat ke badan ketek diiringi gerak teater dan tarian. Sesekali tubuh dan rambut gondrong mereka ikut bergoyang mengikuti irama musik, yang terkadang memperdengarkan pantun. Aktivitas masyarakat Palembang di Sungai Musi pun menjadi background yang menarik.
Hasilnya, satu perahu ketek penuh warna tampak indah dipandang mata. Walikota Palembang dan Dirut Bank Sumsel dibuat berdecak kagum dan membubuhkan tanda tangan mereka. Hiban, salah seorang pelukis, mengatakan, butuh sekitar 10 Kg cat lima warna untuk menyelesaikan lukisan itu dalam waktu sekitar satu jam. “Ini menyenangkan sekali, kita ikut-ikutan menari. Kalau ada pemilik ketek yang mau diwarnai seperti ini, silahkan hubungi kami. Biayanya sekitar Rp 1,5 juta,” katanya.
Selain perahu ketek itu, dua perahu berukuran lebih kecil lainnya yang diwarnai oleh siswa seni rupa SMK 7 juga tampak menarik. Kalau saja seluruh perahu ketek yang berlayar seindah itu, tentu Sungai Musi akan lebih menarik dipenuhi warna warni. “Hari ini kita cat perahu, mungkin lain kali rumah di tepi sungai yang diperindah sehingga Sungai Musi penuh warna warni. Harapan kita, ini bisa menjadi daya tarik wisatawan,” kata Walikota Palembang, Eddy Santana Putra, menjelang pulang.
Sebanyak 20 perahu ketek yang beroperasi di sekitar BKB juga terlihat lebih rapi setelah dicat polos warna biru kemarin. Dirut Bank Sumsel, Asfan Fikri Sanaf mengatakan, kegiatan yang berkaitan erat dengan program Visit Musi 2008 itu diselenggarakan karena Bank Sumsel sebagai perusahaan asli daerah ingin berpartisipasi dalam bentuk karya nyata.
“Ini gratis. 20 perahu sudah selesai, tinggal 30 lagi. Kita ini pembuka, diharapkan perusahaan lain yang lebih besar dan lebih kuat dari kita ikut berpartisipasi. Kalau kita 50 perahu, mungkin perusahaan lain sampai 1.000 perahu,” katanya. ( Sripo 29 Des 2007 )

ORKES REJUNG PESIRAH


Kesenian tradisional di Sumatera Selatan memiliki keragaman bentuk. Selain sastra tutur atau sastra lisan ada juga musik Batanghari Sembilan yang dimainkan dengan gitar tunggal secara melodius. Kedua bentuk seni ini merupakan bentuk yang khas yang dapat menunjukkan identitas daerah Sumatera Selatan. Di setiap suku di Sumatera Selatan memiliki jenis musik batanghari sembilan yang berbeda dengan suku lainnya, meskipun tampak sama. Keunikan lainnya, adalah steman senar gitar yang berbeda –paling tidak menurut beberapa pendapat ada sekitar 28 steman dan jenis petikan. Jika selama ini banyak orang beranggapan Sumatera Selatan tidak ada kekhasan dalam kesenian, tentu sinyalemen ini tidak tepat. Persoalannya, seni daerah Sumatera Selatan ini belum banyak dieksplorasi secara serius dan percaya diri.

Jika dtitinjau dari sisi estetika, irama-irama yang terkandung dalam sastra tutur dan musik batanghari sembilan pun amat indah dan beragam. Dibanding dengan kekhasan irama-irama lagu dari daerah lain, misalnya, Sunda, Minang, Batak, Jawa dan lain-lain, kekhasan irama musik Sumsel tidaklah kalah. Yang penting dilakukan saat ini adalah bagaimana penyajian dan pengemasan musik-musik yang beridentitas daerah agar dapat diminati oleh semua lapisan masyarakat.

Upaya pengembangan musik lokal ini tentu tidaklah mudah seperti yang dibayangkan. Pengaruh masa teknologi yang menggeser nilai-nilai menjadi lebih instan merupakan penyebab menurunnya minat masyarakat terhadap musik lokal. Anak-anak muda lebih tertarik menikmati musik yang terlepas dari akar budaya daerah. Selain itu, banyaknya ragam dan uniknya irama dan steman gitar musik ini membuat peminat-peminat yang ingin mengembangkan musik ini harus lebih banyak belajar pada orang-orang yang memahami. Sayangnya lagi, para pemain musik yang tinggal di dusun-dusun ini sudah banyak berkurang dan mungkin juga sudah uzur.

Bertolak dari pemikiran di atas itulah, ORKES REJUNG PESIRAH dibentuk sebagai kelompok musik yang akan mengali dan mengkreasikan musik-musik di Sumatera Selatan, seperti musik batanghari sembilan, dan irama-irama yang terkandung dalam sastra lisan. Berbagai bentuk kegiatan yang dapat dilakukan agar sastra tutur dan musik batang hari sembilan dapat bertahan, pertama, melakukan penelitian dan pengidentifikasian, kedua, pendokumentasian melalui pembuatan film dan pembuatan buku, ketiga, pertunjukan sastra tutur, baik dengan mempertahankan keaslian maupun dengan dengan cara revitalisasi, yakni mengemas pertunjukan sastra tutur menjadi menarik atau enak ditonton, tetapi dengan tetap mempertahankan keasliannya. ( Ali Goik )