Wednesday, February 13, 2008

Kaukus Seniman Palembang


Orkes Rejung Pesirah berkolaborasi dengan Kamsul A Harla Penyair dan pencipta lagu
pada acara Munggah Seni 1 Muharam 1429 H

Personil Orkes Rejung Pesirah




KOLABORASI ORKES REJUNG PESIRAH DENGAN FILUZ YAKWA


Kolaborasi Orkes Rejung Pesirah dengan Filuz yakwa Pada Acara Wisuda
Sekolah Demokrasi 7/2/08 di
Museum Balaputera Dewa Palembang

KOLABORASI MUSIK, LUKIS, PUISI DAN TARI



Orkes Rejung Pesirah Berkolaborasi dengan Seniman Lukis Suharno
dan Sanggar Tari Dadoe Dalam Acara Dialog dan Apresiasi seni
Seniman dan Budayawan Sumsel di Ballroom Aston

Curhatnya Para Seniman Sumsel

• Dialog Apresiasi Seni-Budaya Sumsel


Enam orang penari Sanggar Tari Dadoe turun dari panggung, memberi salam hormat, dan mengajak tamu menari bersama. Di atas panggung, Suharno menggores cat merah mengakhiri lukisan 'Seribu Wajah Ibu Pertiwi'. Irama Musik 'gado-gado' Orkes Rejung Pesirah pun berhenti berganti tepuk tangan audiens. Kekayaan seni dan budaya Sumsel sungguh memikat. Seperti dipertunjukan seniman dalam acara Dialog Apresiasi Seni Seniman Budayawan Sumsel di Ballroom Hotel Aston Palembang, Jumat (8/2) malam lalu. Satu kreasi yang memadukan keanekaragaman seni budaya lampau tetapi dikemas secara kekinian. Pementasan diawali oleh Suharno, pelukis kondang kelahiran Palembang 3 April 1948, dengan menggoreskan cat ungu ke papan putih berukuran 3 m x 3 m. Ia mulai melukis ‘Seribu Wajah Ibu Pertiwi’. Ketika cat digoreskan, punggawa Orkes Rejung pesirah yang duduk di sisi kanan panggung langsung memainkan musik tradisional. Tiga orang perempuan cantik berkebaya merah, biru, dan hijau didampingi tiga pria gagah berpakaian serupa, naik ke atas panggung. Gerakan tubuh meliuk lentur dan terkadang kaku menggambarkan kegembiraan masa remaja. Sementara Suharno masih asyik menggoreskan cat ke kanvas, Febri Al Lintani membacakan puisi ‘Tragedi Suara Rakyat’. Pertunjukan satu panggung yang memukau. Silih berganti irama musik dari gitar, biola, tifa, gendang, kerincingan, dan rebana yang dimainkan Orkes Rejung Pesirah menggiring Suharno, Febri Al Lintani, dan keenam penari tadi. Irama menghentak, slow, dan balada mengantar audiens pada suasana nan syahdu. Uniknya, instrumental melayu yang dimainkan sudah sering kita dengar. Ada Gending Sriwijaya, Batanghari Sembilan, Ribu-ribu, Guritan, Antan Delapan, dan beberapa lagu daerah Sumsel lainnya. “Pementasan ini adalah perpaduan jenis musik Sumsel yang dikemas kekinian. Rejung dalam bahasa Lahat berarti tembang. Kami menyajikan perpaduan tembang itu,” kata Ana, pembawa acara memerkenalkannya di awal pementasan. Udara dingin ruangan ber-AC terasa semakin dingin ketika Febri Al Lintani membacakan puisi ‘Tragedi Suara Rakyat’ yang menggambarkan betapa susahnya warga mencari sesuap nasi, sementara para elite politik yang (katanya) pro rakyat lebih banyak mengumbar janji. Tiga puluh menit berlalu. Di atas panggung Suharno menggores cat merah mengakhiri ‘tarian’ tangannya. Irama musik Orkes Rejung Pesirah pun berhenti berganti riuh teouk tangan audiens. Pementasan usai, menyisakan lukisan ‘Seribu Wajah Ibu Pertiwi’. Sebuah lukisan yang menggambarkan tubuh wanita telanjang di bawah tatapan mata seribu kepala. Alex Noerdin, Bupati Musi Banyuasin yang ikut menyaksikannya pertunjukan itu bersama ratusan seniman dan budayawan Sumsel mengaku terpukau. Ia bahkan berpikir lebih jauh, jika dikemas sedara profesional kekayaan seni dan budaya Sumsel punya peluang untuk merebut ‘pasar seni’ internasional.
“Luar biasa kreasi seniman. Pagelaran seperti tadi itu, kalau dibawa ke Singapura, ke Thailand, pasti dihargai. Nanti kita bikin filmnya,” kata Alex.
Menggugat Satu malam yang disebut sebagai tonggak awal kebangkitan seniman dan budayawan di Sumsel. Dalam dialog, para seniman dan budayawan banyak menyuarakan kekecewaan mereka karena merasa tersisih, dianaktirikan tanpa mendapat perhatian penuh. Tidak ada fasilitas penunjang untuk mereka tetap berkreasi dengan nyaman. Selama ini, kata Febri Al Lintani dalam kata sambutannya, dialog resmi seni dan budaya tidak pernah digelar di level politik, disinggung pun tidak oleh anggota dewan. Seniman dan budayawan menuntut pemerintah daerah untuk membuat Perda khusus kesenian dan kebudayaan. “Dengan itu, system berkesenian akan lebih baik. Ini sudah pernah kita bahas dalam pertemuan lalu. Malu kalau sampai kita harus belajar seni dan budaya kita sendiri ke luar negeri,” ujarnya. Para pengambil kebijakan dinilai telah tertular virus modernisasi hingga melupakan budaya daerah. Padahal, ujar Febri Al Lintani, boleh saja teknologi semakin tinggi, boleh saja kita ikut globalisasi, tapi kebudayaan janganlah sampai pupus. Gairah ratusan seniman dan budayawan yang hadir malam itu langsung memuncak. Mereka sepakat, ke depan, seni dan budaya harus mendapat porsi lebih. Pun begitu buah pemikiran yang dilontarkan tokoh pers, Ismail Djalili. “Jangan tanya anak Musi bagaimana menabuh rebana, sebab Bapak lebih suka menabuh drum,” kata Rizal, salah seorang seniman yang berkesempatan mempersembahkan puisi berjudul ‘Interogasi Budaya’. Kegundahan hati para seniman itu disampaikan pada Alex Noerdin pada sesi dialog. Alex saat menjabat sebagai Kepala Dinas Pariwisata Kota Palembang (1994-199) pernah mendirikan ‘pasar seni’, tetapi belakangan kegiatan itu menghilang. Sesungguhnya, penulis tidak begitu mengerti seni dan budaya meski sangat menikmatinya. Melihat pementasan malam itu, sungguh tidak adil (kalau memang benar adanya) seniman dan budayawan dianaktirikan. Bukankah bangsa ini dibangun dengan keanekaragaman seni dan budaya? ”Bukan maksud menyakiti, sekedar sentilan dari seorang kawan,” begitu Febri Al Lintani mengakhiri tembangnya, malam itu***