Monday, May 19, 2008

Mencari Sisa “Benang Setukal”

Aku ndak ganjur pule guritan
Aku ndak nebah karang pantunan
Pantunan mane kan ku tebah
Ay, ndilah kamu jeme banyak
Ade pantunan “benang setukal”
Badan kah nutur benang setukal

Mane li kundu benang setukal
Iluk sesaut nggah sesangi
Iluk mancean nggah rupuk-an
Ndak menaw mpak nggah imbean
Ndak menaw lagu kundang-kance

Penggalan di atas merupakan Sastra Tutur Guritan yang dituturkan oleh Achmad Bastari Suan pada acara Pergelaran Kesenian Sumsel yang bertajuk “Tutur Tenun Batanghari Sembilan” pada pameran tenun tradisional Nusantara “Adi Wastra Nusantara 2008”, mengantarkan fashion show dari Rumah Busana Tria. Pameran ini berlangsung dari tanggal 16 April sampai 20 April 2008, dan diikuti oleh stand dari berbagai Propinsi di Nusantara.
Secara keseluruhan isi guritan masih susah difahami oleh penonton Adi Wastra Nusantara yang sebagian besar adalah pecinta kain, desainer, perancang mode, dan ahli-ahli wastra. Tetapi irama guritan yang mendayu dayu mungkin cukup menarik perhatian untuk disimak, karena merupakan bentuk yang tidak lazim ditampilkan pada acara pameran tenun kali ini yang lebih banyak didominasi oleh peragaan busana, oleh perancang terkenal seperti Guruh Soekarno Putra, Didi Budiarjo, Deni Wirawan, Oscar Lawalata, Ghea Panggabean dll. Karena secara substansi guritan yang dibawakan oleh Achmad Bastari Suan dan Orkes Rejung Pesirah ini paling tidak menarik minat stasiun TV Lokal Astro Awani, untuk menggali keunikan ragam guritan “benang setukal” ini, serta musik batanghari sembilan.
Substansi guritan tentang “Benang Setukal” menceritakan tentang sebuah “jiwa” benang yang banyak mengilhami terciptanya warna-warni dan motif kain tenun tradisional di daerah Sumatera Selatan. Menceritakan perumpamaan manusia seperti benang setukal yang dipersonifikasi seperti layaknya manusia untuk berbuat kebajikan, sehingga berusaha meniru cara yang baik teman-temannya. Makanya benang setukal ini berusaha merubah dirinya menjadi Benang Merah. Sehingga dia bertapa di tempat pohon pacar (kim hong) yang banyak tumbuh, selama tujuh hari delapan malam. Sehingga berubah warna menjadi Benang Merah.
Meskipun demikian rencananya dan cita-citanya semakin tinggi dan semakin kuat, niatnya asal dapat meniru kebaikan orang, meniru prilaku teman-temannya yang berbuat baik. Kali ini benang setukal ingin menjadi benang kuning.
Maka bertapalah dia di rumpun kunyit, habislah tujuh hari, delapan malam, kemudian berubah menjadi benang kuning. Meskipun sudah menjadi benang kuning, cita-citanya tidak berhenti sampai disitu saja, demikian pula doanya. Maka dia berpikir tanpa henti sampai akhirnya dia masuk ke dalam bakul peralatan tenun. Tujuannya masuk ke bakul perlengkapan itu, sebagai siasatnya agar dimanfaatkan oleh pengrajin sesuai maksudnya ingin menjadi busana, seperti sampang, selendang, pelung pelangi, kain tajung dan sebagainya asal bermanfaat.
Itulah cita-cita Benang Setukal. Kalau ada remaja putri hendak bertenun manfaatkanlah dirinya benang setukal yang sudah berwarna-warni. Begitulah ceritanya. Ungkapan guritan ini sangat menarik menceritakan tentang falsafah benang yang melalui proses dan waktu yang panjang untuk menjadi tenunan yang berwarna-warni. Dia diambil oleh pengrajin, lalu dia ditenun oleh remaja putri, dibuat kain, dibuat baju, dibuat sampang, selendang pelung, pelangi. Setelah selesai ditenun menjadi pakaian gadis-gadis cantik, menjadi pakaian remaja putri disenangi ibu-ibu dan janda-janda muda.
Sisa Benang Setukal
Dari guritan tentang benang setukal tadi, ada pesan kebajikan yang hendak disampaikan kepada pendengarnya. Bahwa hasil tenun, merupakan sebuah mahakarya yang dibuat dengan semangat dan cinta, mulai dari proses pewarnaan, sampai menjadi motif warna-warni. Pesan yang hendak disampaikan di sini bahwa pada prinsipnya manusia itu harus berproses untuk melakukan perubahan nilai (value of exchange), menjadi lebih baik, menjadi lebih kreatif, menjadi lebih bernilai, sehingga dapat bermanfaat bagi masyarakat luas.
Dalam kondisi budaya yang sangat plural saaat ini, tentunya ada upaya untuk mencari sisa semangat dan kebajikan benang setukal, sebagai penanda yang unik dari satu ciri budaya tempatan. Apakah diprosesi pewarnaanya, apakah di prosesi “cukitan” atau motif-motif lain yang dikembangkan. Sehingga kearifan tempatan seperti tradisi menenun ini dapat memberikan banyak inspirasi, bukan hanya di prosesi tenunan, tetapi juga sebagai bagian ungkapan, seni pertunjukan, irama, dan bentuk budaya lainnya. Dalam industri pariwisata menjual sebuah prosesi kulinerpun menjadi menarik dan menghasilkan devisa.
Jika kita melihat trend busana di Pulau Jawa, gerakan kepada perubahan nilai dan bentukpun tampaknya menunjukkan perkembangan yang baik terutama motif batik. Saat ini telah banyak digali oleh desainer berbakat di Jakarta, yang sudah jauh lebih berkembang, teknik-teknik menggunakan “malam” dengan “canting” atau membatik sudah dikenal luas oleh komunitas batik di Indonesia. Hal ini juga didukung dengan terlibatnya desainer berbakat di Indonesia untuk menggunakan teknik membatik, apakah batik tulis atau batik cap (printing) ke berbagai media busana sehari-hari, dari bahan katun, kulit, jeans dan lain-lain. Sehingga terkesan casual, cozy, sementara semangat benang setukal sudah berkembang seperti itu, apakah bahan tenun tersebut berasal dari tanaman perdu, atau kapas untuk songket, apakah menjadi fokus komunitas songket/kain tenun di Sumsel. Diluar prosesi pembuatan itu sendiri, misalnya memberi makna dari prosesi menenun songket, membuat kain pelangi (jumputan).
Yang menarik mungkin proses penggalian tentu tidak saja menjadi objek penggalian, pengrajin penenun atau desainer songket semata. Tetapi dia juga harus menjadi objek penggalian budayawan Sumsel, mengingat keluaran dari selembar songket merupakan gabungan dari tradisi lokal yang mencakup banyak unsur kepercayaan, adat istiadat, prosesi, bahasa, bahkan nada-nada purba, mulai pewarnaaan, teknik desain, dan ritual-ritual tenunan yang mungkin terbilang unik. Sehingga A Bastari Suan menggunakan sambang yang sudah ditulisi hoeroef oloe, sebagai properti dalam bentuk guritan tentang ritual tenun masyarakat besemah tempo doeloe.
Harapan kita sebentar lagi ada desainer Sumsel yang mengangkat kekayaan aksara

“Hoeroef Oloe” menjadi salah satu bentuk kekayaan tekstil Sumatera Selatan sebagai warisan semangat benang setukal.


Iluk bagian Benang Setukal
Tuwah jaye ngatun gale
Kenan diambil li pepandin
Kenan ditenun parejake
Kenan diuwat kain-baju
Sampang, selindang, pelung, pelangi
Lah ude kenan ditenun
Njadi dandanan gadis alap
Njadi pakay parejake

Saturday, May 3, 2008

Konser Gitar “Salah Setem”

Oleh: Syam Asinar Radjam

Bagaimana jadinya kalau gitar “salah setem” dimainkan? Jadilah irama Batanghari Sembilan। Musik etnik nan memesona dari ranah Sumatera Selatan. “Salah setem” kok memesona? Bukannya super duper acak kadul bikin sakit telinga?

Ketimbang menduga-duga, datang saja ke Balai Sidang Jakarta (Hall A dan B) sore nanti (17/04/08). Orkes “Rejung Pesirah” dari Palembang akan mempertunjukkan bahwa dugaan tadi bisa keliru 100%.

Orkes “Rejung Pesirah” yang digawangi oleh Vebri Al Lintani, Ali Goik, dan kawan-kawan akan membawakan beberapa lagu dalam irama batanghari 9. Kelompok musik ini memainkan beberapa gitar salah setem, dalam artian “seteman” tidak standar secara bersama. Uniknya, masing-masing seteman gitar tersebut berbeda satu sama lain.

Tadi malam, ketika ditemui dusunlaman, Vebri Al Lintani dan Ali Goik memperlihatkan teknik bermain gitar salah setem itu. Ketika ditanya chord/kunci apa yang mereka pakai pada lagu-lagu yang mereka mainkan, keduanya hanya tergelak.

“Entah,” jawab Ali. “Begini saja, untuk lagu Kaos Lampu yang juga sering disebut “Buruk tegantung” alias “Bujang Tue”, kita pakai kunci (chord) Kaos Lampu,” tambahnya.

“Ini namanya kunci merapi,” sahut Vebri sambil memainkan sepotong lagu Merapi.

“Mau lebih dengar lebih banyak, datang besok sore, ya. Jam 5 sore,” undang Vebri.

Selain konser gitar “salah setem”, kafilah budaya dari tanah dengan sembilan sungai besar ini akan menampilkan sastra tutur “Guritan” dan pentas Tari Tradisional. Pergelaran ini selenggarakan sebagai bagian dari event “Adiwastra Nusantara 2008”.###