Friday, October 17, 2008

Diskusi Masalah Teater di Palembang

KOMPAS 16 Oktober 2008.

Komunitas seniman di Palembang mengadakan diskusi perkembangan teater di Palembang dan persoalannya, Selasa (14/10), di Sekretariat Dewan Kesenian Palembang dalam rangka ulang tahun ke-16 Teater Gaung. Acara tersebut dimeriahkan pembacaan puisi dan cerpen serta pentas orkes Rejung Pesirah. Menurut penggiat teater Palembang, Toton Dai Permana, pada tahun 1980-an, gairah teater di Palembang sangat tinggi dan sampai sekarang masih dilakukan oleh Teater Gaung meskipun kelompok-kelompok teater yang lain sudah tak terdengar lagi kabarnya. Sayangnya, persoalan yang dihadapi penggiat teater di Palembang dari dulu sampai sekarang masih sama, yakni persoalan manajemen. (WAD)

Wednesday, October 15, 2008

DEPOSITO BANK SUMSEL DI INDOVER SUDAH DITARIK

Telah dicairkan semua tgl 18 Januari 2008 Tidak ada indikasi kerugian

DAMPAK- Krisis perekonomian yang sedang terjadi nampaknya tidak berpengaruh signifikan terhadap likuiditas Bank Sumsel. Bahkan bisa dipastikan likuiditas bank milik pemerintah daerah tersebut aman. Menurut Direktur Utama Bank Sumsel H Asfan Fikri Sanaf, krisis yang terjadi saat ini tidak berdampak negatif bagi bank yang dia pimpin. Karena, sejak awal tahun 2008 lalu, Bank Sumsel sudah menjaga Loan To Deposit Ratio (LDR) di posisi 40-50 persen. “ Itu artinya Bank Sumsel dalam kondisi over likuiditas, “ ujarnya saat press conference di kantor Bank Sumsel, kemarin. Senin 12 Oktober 2008 Terkait pemberitaan salah satu media yang mengatakan Bank Sumsel terkena imbas akibat menyimpan dana deposito senilai Rp 10 M di Bank Indover belanda Asfan menjelaskan bahwa hal tersebut tidak benar. Karena sejak Januari 2008 lalu, seluruh dana tersebut sudah ditarik atau dicairkan. “ Jadi tidak ada masalah, apalagi dampaknya terhadap kita,” ujarnya. Dipaparkannya, pada tahun 2007 lalu Bank Sumsel memang menempatkan deposito di Bank Indover, nilainya 1.165.000 USD atau sekitar Rp 10 Milyar.
Dana tersebut ditempatkan di bank tersebut secara bertahap mulai dari Mei 2007 hingga September 2007. Namun setelah jatuh tempo, dana tersebut juga dicairkan sesuai dengan jangka waktu dari 1 hingga 6 bulan. “ Terakhir 18 Januari 2008, semua dana yang jatuh tempo tersebut tidak diperpanjang kembali, “ tegas Asfan Fikri Sanaf

Monday, October 13, 2008

PUYANG KEMIRI: PESAN-PESAN, DAN ASAL USUL EMPATLAWANG

Oleh : Vebri Al Lintani
Direktur Lembaga Budaya Komunitas Batanghari 9 (KOBAR 9)


Dalam kisah-kisah Puyang, selain memuat asal usul, juga memuat pesan-pesan dasar yang menjadi aturan adat yang amat dipatuhi oleh masyarakat. Inilah yang disebut dengan pesan puyang. Satu diantara kisah puyang di wilayah Batanghari Sembilan adalah Puyang Kemiri yang diakui sebagai puyang (nenek moyang) orang-orang di dusun (sekarang desa) Kunduran, sebagian dari masyarakat dusun Simpang Perigi, dan sebagian masyarakat yang tersebar di dusun-dusun sekitar kecamatan Ulu Musi, Kabupaten Empat Lawang, daerah perbatasan antara provinsi Sumatera Selatan dan provinsi Bengkulu. Dahulu daerah ini merupakan bagian dari wilayah marga Tedajin. Berikut ini ringkasan cerita Puyang Kemiri.
Konon di masa akhir kejayaan kerajaan Majapahit, Rio Tabuan, seorang biku yang yang berasal dari negeri Biku Sembilan Pulau Jawa menelusuri sungai Rotan atau sungai Musi dengan membawa kerbau dan ayam berugo (ayam hutan). Ketika tiba di Kuto Kegelang, kedua hewan yang dibawanya berbunyi, maka di tempat inilah dia menetap. Kuto Kegelang berada beberapa kilo meter di hulu Dusun Kunduran.
Di Kuto Kegelang, dia mendapatkan tujuh orang anak yang bernama (1) Imam Rajo Besak, (2) Imam Rajo Kedum, (3) Seampai-ampai, (4) Maudaro, (5) Siap Melayang, (6) Robiah Sanggul Begelung (7) Serunting Sakti. Setelah mendapatkan tujuh orang anak, Puyang Rio Tabuan tidak lagi merasa kesepian. Anak-anak ini dimintanya dari Mastarijan Tali Nyawo, seorang penduduk yang tinggal di Surgo Batu Kembang.
Bertahun-tahun kemudian, Robiah Sanggul Gelung yang cantik dilarikan oleh Seniang Nago ketika mandi di tepian Sungai Musi. Robiah duduk di atas sebatang kayu yang rupanya samaran Seniang Nago dan kemudian pelan-pelan bergerak menjauh dan melarikannya ke Selabung.
Lalu Robiah disusul oleh Kerbau Putih, (seekor kerbau peliharaan Puyang Kemiri, atau penafsiran lain adalah seorang yang berjuluk Kerbau Putih karena kesaktiannya) untuk mencari Robiah, atas suruhan saudara-saudaranya.
Kerbau putih memulai pencariannya dengan menyelam di sana dan muncul di tepian coko (tepian mandi di seberang dusun Kunduran). Di tempat ini masih dapat dilihat bekas telapak kaki (tinjak) kerbau putih. Lalu dia menyelam lagi, muncul kedua kalinya di dusun Tapa dan kemudian menyelam lagi hingga ketiga kalinya di Selabung.
Pencarian Kerbau Putih ini berhasil menemukan Robiah tetapi tak berhasil membawakanya kembali ke Kuto Kegelang. Robiah sudah menikah dengan Seniang Nago. Lalu Kerbau putih segera pulang ke Kuto Kegelang. Sebagai tanda bukti bahwa dia sudah bertemu dengan Robiah, Kerbau Putih dibekali dengan seikat ilalang, seruas bambu, air garam, sebuah kemang, seekor kemuai (keong putih) serta pesan Puteri Robiah yang ditulisnya di tanduk Kerbau Putih.
Dalam perjalanan pulang, Kerbau Putih dihadang oleh kerbau Tanduk Emas dan kemudian dua kerbau ini berkelahi. Kerbau Putih kelelahan dan mati di dusun Tapa. Perbekalan yang dibawa olehnya berupa ilalang tertumpah dan tumbuh di daerah ini sehingga menjadi hamparan padang ilalang yang saat ini dikenal dengan nama Padang Pancuran Emas. Buah Kemang pun tumbuh dan bambu juga ikut tumbuh di atas tubuh Kerbau Putih. sedangkan Kemuai diantarkan oleh Puyang Dusun Tapa ke Kuto Kegelang dan sekaligus menyampaikan pesan tentang Robiah yang tertoreh di tanduk Kerbau Putih.
Berselang beberapa bulan kemudian, Robiah yang sudah memiliki seorang anak berniat pulang (begulang) ke Kuto Kegelang. Mendengar kabar Robiah akan begulang, semua saudara-saudaranya amat bahagia, dan segera bermusyawarah untuk mengadakan sedekahan (kenduri). Tetapi lain halnya dengan Serunting, di dalam hatinya masih menyimpan rasa sakit karena perlakuan Seniang Nago yang melarikan Robiah. Karena itu, ketika dia disuruh mencari ikan, dengan setengah hati dia pergi, dan baru kembali setelah kenduri usai.
Ketika kembali Serunting hanya membawa seruas bambu, seperti yang di bawanya semula. Tetapi ternyata, seruas bambu itu berisi ikan yang tidak habis-habisnya, semua bakul, keranjang bahkan kolam tidak dapat menampung ikan yang ditumpahkan dari seruas bambu tersebut. Imam Rajo Besak yang sedari mula sudah kesal dengan Serunting bertambah marah. Lalu Imam Rajo Besak melemparkan seruas bambu dengan sangat keras hingga melewati Bukit Lesung dan jatuh di sungai Pelupuh.
Serunting sakti jadi tersinggung dengan sikap kakak tertuanya ini lalu pergi dari rumah. Tinggallah Imam Rajo Besak dan ke empat saudaranya. Mereka hidup tenang dalam beberapa tahun. Lalu mereka diserang oleh segerombolan orang. Rumah mereka dibakar habis. Tetapi kelima puyang ini dengan kesaktiannya, tiba-tiba menghilang (silam) dari pandangan orang-orang.
Dalam sebuah rumah yang mereda dari kobaran api, tampaklah seorang anak yang duduk di tengah puing-puing rumah. Konon, anak itu bukan hangus tetapi malah menggigil karena kedinginan. Anak yang bernama Sesimbangan Dewo ini kemudian dipelihara oleh Puyang Talang Pito (daerah Rejang). Sesimbangan Dewo, artinya pengimbang puyang yang silam. Beberapa tahun dia dirawat oleh Puyang Talang Pito. Lalu dia mengembara selama sepuluh tahun ke negeri lain. Kemudian dia pulang ke sekitar dusun Kunduran, menetap di Muara Belimbing. Makamnya pun berada di Muara Belimbing.
Setelah beberapa tahun kemudian, Imam Rajo Besak menjelma kembali. Dia bertemu dengan Rajo Kedum dari Muaro Kalangan, Raden Alit dari Tanjung Raye, dan Puyang dari Muara Danau. Keempat orang ini kemudian dikenal dengan nama empat lawangan (empat pendekar) yang kemudian menjadi cikal bakal kata Empatlawang. Keempat sahabat kemudian menyerang kerajaan Tuban yang dipimpin oleh seorang ratu.
Dalam penyerangan yang dipimpin Imam Rajo besak sebagai panglima mereka mendapatkan kemenangan. Mereka berhasil memasuki istana dan mengambil beberapa benda yang berharga termasuk sebilah keris pusaka Ratu Tuban yang diambil sendiri oleh Rio Tabuan dengan ujung kujur (tombak) pusakanya, karena ketiga temannya tidak mampu. Kedua pusaka ini, hingga saat ini masih tersimpan di jurai tuo (keturunan yang memiliki garis lurus dengan puyang Imam Rajo Besak) yang tinggal di dusun Kunduran. Puyang Kemiri memberikan sumpah kepada keturunannya yang jika tidak dipatuhi akan mendapat keparat (kualat). Inilah 3 sumpah Puyang Kemiri : (1) beduo ati dalam dusun nedo selamat (berdua hati di dalam dusun tidak selamat), (2) masukkan risau dalam dusun nedo selamat (memasukkan pencuri di dalam dusun tidak selamat), (3) iri dengki di dalam dusun nedo selamat (iri dengki di dalam dusun tidak selamat).
Selain itu, puyang Kemiri pun memesankan tujuh larangan lagi, yakni: satu, nyapakan kaparan ke ayik (membuang sampah ke sungai), dua, mandi pakai baju dan celano (mandi memakai baju dan celana; biasanya orang di dusun kalau mandi memakai telasan (kain penutup tubuh yang dipakai khusus untuk mandi), tiga, buang air besar/kecil di atas pohon, empat, ngambik puntung tegantung (mengambil kayu bakar yang tergantung di pohon), lima, ngambik putung anyot (mengambil kayu bakar yang hanyut di sungai, enam, mekik-mekik di ayik dan di hutan (berteriak di hutan atau di sungai), tujuh, nganyotkan kukak gebung (menghanyutkan kulit rebung di sungai).

Analisis pesan
Jika mencermati ketiga sumpah puyang, pertama, agar seseorang tidak boleh bersikap mendua hati, artinya seseorang harus setia pada kesepakatan awal. Tidak boleh memasukkan pencuri atau berkhianat, apalagi menjadi pencuri betulan. Artinya kejujuran merupakan hal yang paling utama dalam meningkatkan kepribadian seorang manusia. Selanjutnya, anak cucu Puyang Kemiri harus bersih hati dari iri dan dengki. Ketiga, norma dasar ini merupakan sikap dasar yang harus dimiliki oleh orang yang baik.
Pada bagian kedua, poin satu, dan poin lima, umpamanya, pesan ini berspektif lingkungan. Bagaimana puyang-puyang dahulu telah memikirkan cara menjaga sungai dan melindungi hutan. Sungai dan hutan yang di dalamnya bergantung kehidupan tumbuh-tumbuhan dan hewan lainnya, merupakan satu mata rantai yang saling membutuhkan. Karenanya, mata rantai ini harus dijaga dalam garis keseimbangan. Simaklah larangan puyang yang tidak boleh membuang sampah di sungai, artinya jika membuang sampah tentu akan membuat sungai tercemar.
Poin lima, pesan puyang melarang orang mengambil kayu bakar yang hanyut di sungai. Jika direnungi lebih lanjut, larangan ini tidak hanya melarang orang mengambil kayu bakar tetapi sebenarnya juga tidak boleh menebang pohon di tepi sungai. Karena biasanya pohon yang hanyut di sungai adalah pohon yang diambil di tepi sungai, atau yang dihanyutkan melalui sungai. Saat ini, kita lihat betapa banyak orang-orang mengangkut gelondongan kayu yang tidak sah (illegal logging) di sungai. Jadi, tidak hanya kayu bakar tetapi kayu-kayu besar sudah dijarah oleh orang-orang yang serakah. Akibatnya bencana banjir menjadi langganan tahunan bagi masyarakat daerah ini.
Poin tujuh, puyang melarang seseorang menghanyutkan kulit rebung yang bermiang (bulu-bulu halus yang menempel di kulit rebung dan akan menyebabkan gatal-gatal jika terkena kulit manusia) di sungai. Maksudnya, kulit rebung yang mengandung miang jika dihanyutkan akan membuat miangnya hanyut dan jika ada orang yang mandi maka dia akan terkena miang yang dapat menyebabkan tubuhnya menjadi gatal. Selanjutnya, pada poin tiga, melarang orang membuang kotorannya di atas kayu. Takutnya jika ada orang lewat di bawahnya tentu akan membuat celaka juga. Jika dipahami lebih luas, poin tujuh adalah larangan puyang agar tidak berbuat yang dapat mengakibatkan orang lain celaka.
Poin dua, dan poin empat merupakan kiasan perbuatan yang dapat mencelakakan diri sendiri. Cobalah pikirkan, jika seseorang mandi pakai baju dan celana, tentu mandinya tidak dapat terlalu bersih dan jika tiba-tiba hanyut, tentu celana dan baju akan menjadi berat jika dibawa berenang. Begitu juga dengan mengambil kayu bakar yang tergantung, salah-salah akan menimpa dirinya.
Poin enam dilarang berteriak di sungai dan di hutan. Umumnya masyarakat di uluan Sumatra Selatan melarang berteriak di sungai dan di dalam hutan. Sebab, berteriak di dalam hutan akan mengganggu ketenangan hewan-hewan, dan bahkan bisa mengejutkan binatang buas. Jika binatang buas terkejut tentu saja akan mendatangkan celaka bagi diri sendiri.
Larangan-larangan puyang di atas sebagian besar bersumber dari cerita Puyang Kemiri itu sendiri, misalnya, tentang larangan mengambil kayu bakar yang hanyut, ini ada kaitannya dengan Puyang Seniang Nago yang menyamar menjadi sebatang kayu yang rebah di tepian. Begitu juga dengan sikap hati mendua, dan iri hati di dalam dusun. Hal ini ada kaitannya dengan cerita Puyang Serunting Sakti yang tidak ikhlas menjalankan tugas yang sudah disepakati dan diperintahkan oleh Imam Rajo Besak.
Pesan-pesan kearifan lokal seperti ini, jika dilihat secara substansi merupakan nilai-nilai yang universal dan bersumber dari adat. Tetapi seringkali, nilai-nilai yang berlaku secara adat, saat ini dianggap tidak masuk akal dan berbau kemenyan. Padahal, kearifan lokal seperti ini oleh masyarakat adat sangat dipatuhi. Karena mereka sangat yakin, apabila tidak dipatuhi akan mendatangkan balak (mala petaka). Dimana-mana seolah-olah mata puyang selalu mengawasi mereka. Hal ini sangat masuk akal. Saya kira, siapa pun yang melanggar ketentuan Puyang Kemiri akan tidak selamat dan tidak sempurna hidupnya. Bagaimana hidupnya mau selamat jika mendua hati (berhianat), pencuri, dan tidak jujur.
Dari sisi budaya, legenda Puyang Kemiri merupakan modal sosial budaya yang perlu dijaga. Sejatinyalah, legenda Puyang Kemiri merupakan sumber hukum adat yang memiliki nilai-nilai universal, menjunjung persatuan, menjunjung rasa hormat terhadap diri sendiri, rasa hormat terhadap orang lain dan terhadap lingkungan alam lainnya.
Selanjutnya tugas para agamawan dan budayawan menyambungkan substansi nilai-nilai tersebut dengan ajaran-ajaran agama Islam yang juga memiliki nilai-nilai yang sama, dan lalu menyambungkannya dengan nilai-nilai yang berkembang dalam era saat ini. Sehingga nilai adat dapat bersinergi dengan nilai agama dan nilai kebudayaan yang telah mengamali kegayauan (kegamangan).

BETOGOU: Petuah Dari Kayu agung

BETOGOU berarti “memberi petuah”. Sastra lisan ini hadir khusus untuk memberikan petuah bagi masyarakat Kayu Agung. Dengan bermodium bahasa Kayu Ayung dan bahasa Ogan, betogou memberikan tersendiri bagi masyarakat pendukungnya.
Dimasa lalu betogou hadir dengan cara bertembang atau dilagukan untuk menyuguhkan kisah kisah yang tidak saja memberikan hiburan bagi pendengarnya, tetapi lebih dari itu, ia hadir dan mengalir bersama kultur masyarakat pendukungnya untuk memberikan makna bagi masyarakat pendukungnya.
Tatkala cerita lisan tersebut dituturkan maka cerita lisan tersebut dinikmati pendengarnya, gagasan dan pesan yang hadir melalui penuturan mengandung manfaat. Paling tidask, pendengar dapat mengetahui gagasan atau jalinan cerita yang diturkan. Saat mendengar cerita lisan tersebut, pendengar dapat mengambil hikmah atau pelajaran dan tersentuh hati nuraninya, karena peristiwa yang digambarkan dalam cerita lisan yang dituturkan oleh penutur.
Betogou kini dituturkan seperti kita bercerita sehari-hari tampa berlagu atau bertembang namun charisma petuah dalam betogou tidaklah pudar.
Kebanyakan pendengar, pada saat selesai proses penuturan, ia tidak hanya merasa puas dan terhibur tetapi dapat pula mencoba mengambil manfaat dan menjadikan cerita tersebut sebagai teladan untuk melakukan keberpihakkan pada kebenaran, kebaikan, dan kejujuran serta menjauhi keserakahan, penindasan, bahkan kejahatan.
Cerita lisan yang popular dikalangan masyarakat Kayu Agung, antara lain Putri Berambut Putih asal Dusun Kayu Agung, Pahit Lidah, Batu Belah, Bati Jimat, Ratu Agung, lubuk Pengabai, dan Raden Keling. Cerita lisan ini tidak hanya berfungsi sebagai penghibur, tetapi juga sebagai alat pendidikan dan komunikasi kultur masyarakat pendukungnya. Manfaat betogou lebih bersifat psikis dan intelek yang berkaitan dengan pengayaan etika, moral, intelektual, dan hal lainnya yang abstrak namun dapat dirasakan serta menyentuh emosi dan pikiran manusia atau pun tempat masyarakat tempat betogou lahir, hidup sekaligus dihidupi dan menghidupi masyarakatnya. Betogou hadir bukan hanya untuk membangun semata mata dunia imajinatif. Lebih dari itu pendengar mempunyai “PR besar”. Pendengar diajak berpikir dan bercermin sembari mengadakan evaluasi atau intropeksi diri untuk memerangi segala sesuatu yang tidak baik bagi umat manusia, antara lain menjauhkan diri dari kejahatan, menegakkan kebenaran, dan menjunjung kemanusiaan. Seolah olah betogou hadir untuk mengajak masyarakat pendukungnya untuk meningkatkan kebajikan, meningkatkan moralitasnya, memperhalus etika, agar masyarakat lebih beradab.
Melalui gagasan dalam penuturan, betogou memberi kontribusi dalam kehidupan bermasyarakat tempat betogou lahir dan hadir. Tidak sembarang orang yang dapat menututurkan betogou melainkan ketua adat atau tokoh masyarakat. Biasanya kalau keluarga nenek atau kakek. Betogou hadir untuk memberikan nasehat atau petuah kepada anak anak atau cucunya dalam mengarungi hidup dan kehidupan ini. Melalui cerita lisan yang tengah popular ditengah masyarakat Kayu Agung akan ditemui nilai nilai yang sarat manfaat yang dapat dijadikan bekal oleh anak cucu dalam mengarungi kehidupan yang fana ini. Petuah itu tidak lain adalah mengajak anak cucu dan keluarga besar untuk menjalani kehidupan yang berpijak pada jalan kebenaran.
Penutur betogou biasanya sudah sangat fasih dalam menuturkan cerita cerita lisan yang akan dituturkan. Biasanya pada malam hari pada saaat bulan purnama dibalai balai rumah ataupun di dalam rumah tetua adat atau tokoh masyarakat akan memulai kisahnya. Kisah atau jalinan cerita tersebut akan dilantunkan sebagai pengisi waktu luang atau saat sengang di malam hari. Biasanya setelah shalat Isya’. Melalui betogou jalinan komunikasi antar penutur dan pendengar terjadi lewat “persentuhan” dengan cerita yang dilantunkan, maka tingkat pemahaman pendengar untuk menyerap pemahaman terhadap isi cerita atau kisah tersebut akan sangat bergantung pada pengalaman dan wawasan pendengar, semakin luas wawasan pendengar maka akan semakin luas pula pemahaman yang akan didapatnya. Sebagai fakta social betogou lahir tidak terlepas dari masyarakat kultur Kayu Agung. Cerita cerita yang dilantunkan dalam betogou merupakan gambaran kondisi sosiokultural masyarakatnya yang menjadi “cermin masyarakat”.
Cerita yang dituturkan menjadi recretio, sesuatu yang mempunyai makna bagi kehidupan manusia. Penutur betogou secara spontanitas dapat menuturkan cerita yang popular ditengah masyarakat Kayu Agung. Sebuah cerita lisan yang telah dituturkan akan bermakna jika makna yang terdapat dalam cerita tersebut dapat hidup dalam diri pendengarnya.
Penutur betogou merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam masyarakatnya. Ia lahir dan besar dalam lingkungan masyarakat tertentu. Tidaklah berlebihan jika penutur betogou memiliki pertalian yang erat dengan norma, kaidah, hukum, dan undang undang tertentu yang melekat pada dirinya. Kisah atau cerita yang terdapat dalam masyarakat Kayu Agung dapat pula diungkapkan melalui symbol symbol yang tersirat maupun terselubung yang tentu universal. Seiring berjalannya waktu, sayangnya tidak banyak pula orang yang dapat betogou.

NYANYIAN PANJANG BERIMA DAN LAMA

Sesuai dengan namanya, nyanyian panjang, penuturan lagu dengan irama tertentu, seperti nyanyian dengan penuturan yang memakan waktu yang lama, yaitu berjam jam lamanya. Nyanyian panjang merupakan salah satu genre atau bentuk folklore yang terdiri dari kata kata dan lagu, yang beredar secara lisan diantara para anggota kolektif tertentu, berbentuk tradisional, serta mempunyai banyak varian. Nyanyian panjang dikenal luas oleh masyarakat pendukungnya. Ia hidup dan dihidupi oleh masyarakat tempat sastra lisan itu lahir, tumbuh dan berkembang serta menjadi budaya yang tak terpisahkan dari masyarakatnya.
Nyanyian panjang berasal dari bermacam macam sumber dan timbul dari berbagai macam media tetapi identitas folklornya yang beredar dalam peredaran lisan (oaral transmission). Nyanyian panjang terkenal juga dengan nama tembang panjang atau njang panjang. Dengan berbagai tema yang disuguhkan penutur kepada pendengar, Nyanyian panjang mendapatkan tempat dihati masyarakat pendukungnya adalah Nyanyian panjang Raden Alit dan Nyanyian panjang Sejarah Saman Diwa. Kisah kedua Nyanyian panjang tersebut telah ” membumi” ditengah masyarakat pendukungnya. Saat ini, Nyanyian panjang telah muncul dengan cerita cerita lisan yang beragam tetapi unsur “kepahlawanan” dengan sosok yang memiliki kegagahan dengan keberanian dan kelebihan yang luar biasa menjadi suguhan menarik bagi pendengarnya.
Nyanyian panjang dituturkan dengan bahasa masyarakat setempat, seperti bahasa Ogan, Bahasa Belide, dan bahasa Enim.
Dimasa lalu Nyanyian panjang dituturkan saat panen telah tiba, saat ada hajatan masyarakat, seperti pesta pernikahan, pada acara khitanan dan pada saat kelahiran bayi bahkan kalau ada orang yang meninggal dunia.
Penutur Nyanyian panjang umumnya adalah laki laki berusia matang. Kira kira diatas tiga puluh tahun.
Dalam Nyanyian panjang, kata kata dan lagu merupakan dwi tunggal yang tak dapat terpisahkan. Ketika penutur melantunkan Nyanyian panjang, teks ( kata kata) selalu dinyanyikan atau dilagukan oleh informan dan jarang sekali hanya disanjakkan. Namun antara teks yang satu dengan yang lainnya tidak selalu dinyanyikan dengan lagu atau irama yang sama. Sering pula, lagu yang sama sering dipergunakan untuk menyanyikan beberapa teks Nyanyian panjang yang berbeda.
Sifat Nyanyian panjang sering kali berubah ubah baik bentuk maupun isi. Itu bagian yang tak terpisahkan dari budaya lisan. Nyanyian panjang merupakan milik kolektif masyarakatnya dan luas pula peredarannya karena disampaikan dari mulut ke mulut. Penyebarannya melalui lisan, sehingga dapat menimbulkan varian varian.
Nyanyian rakyat yang tergolong pada nyanyian rakyat sesungguhnya menurut Brunvad dalam The Study of American Foklore An introduction adalah
(a) nyanyian rakyat yang berfungsi adalah nyanyian rakyat yang kata kata dan lagunya memegang peranan yang sama penting.
(b) Nyanyian rakyat yang bersifat liris, yang merupakan pencetusan rasa haru pengarangnya yang anonym itu, tampa menceritakan kisah yang bersambung. Sifat yang khas ini dapat dijadikan ukuran untuk membedakan nyanyian rakyat liris yang sesungguhnya, karena yang terakhir justru menceritakan cerita yang bersambung. Banyak diantaranya yang mengungkapkan perasaaan sedih, putus asa karena kehilangan sesuatau atau cinta, sehingga menimbulkan keinginan keinginan yang tak mungkin tercapai.
(c) Nyanyian rakyat liris yang bukan sesungguhnya, yakni nyayian rakyat yang liriknya menceritakan kisah yang bersambung (coherent). Ke dalam jenis nyanyian nyayian seperti : Spiritual and other traditional religious song ( nyanyian rakyat yang bersifat kerohanian dan keagamaan lainya).
Tidak ada syarat tertentu untuk dapat menuturkan nyanyian panjang, namun itu tergantung dengan kisah yang akan dituturkan. Bagi penutur yang akan menuturkan Nyanyian panjang sejarah Saman Diwa harus punya hubungan darah dengan penutur sebelumnya. Selain itu, saat menuturkan Nyanyian panjang sejarah Saman Diwa sering kali penutur kesurupan. Maka ayakan padi berfungsi untuk dipukul pukulkan sebanyak tiga kali. Penutur yang akan menuturkan Nyanyian panjang sejarah Saman Diwa biasanya dengan berbagai sajen yang telah disiapkan terlebih dahulu. Sesajen tersebut berupa nasi pulut, ayam burik, pisang emas, serabi, bubur gemuk, beras kunyit, dan kemenyan.
Setelah sesajen disiapkan, mulailah penutur membakar kemenyan dengan membaca baca-babacan tertentu biasanya bacaan tersebut dalam bahasa Arab. Saat itulah penutur mulai mengingat jalinan kisah yang akan dituturkan secara lengkap dan dapat memangil roh roh orang yang telah meninggal dengan cara kesurupan. Mungkin, itu pulalah yang menjadi Nyanyian panjang jenis ini tidak dapat bertahan karena penonton tidak bisa mendengarkan jalinan cerita dan takut kalau kalau “ kena sasaran” penutur yang sedang kerasukan.