Tuesday, July 1, 2008

Tim Formatur Langgar Mandat Musda DKSS

MANDULNYA kerja tim formatur pemilihan ketua Dewan Kesenian Sumatera Selatan (DKSS) pasca-Musda DKSS 10-11 Juni 2008, mendapat tanggapan buruk dari kalangan seniman. Menurut perupa Sirojudin (Sirodj), Djohan Hanafiah harus bertanggung jawab atas kegagalannya melaksanakan mandat musda. ‘’Harusnya tenggat waktu selama sepekan yang diputuskan musda untuk memilih ketua DKSS, sudah ada hasilnya. Ini mana? Jadi, apa kerja tim perumus (formatur) untuk mengusung mandat musda? Apakah lima orang yang ditunjuk sebagai formatur itu kerjanya hanya tidur? Dalam kondisi begitu, saya jadi curiga, barangkali ada kongkalikong untuk mendudukkan kembali Pak Djohan sebagai ketua. Ah, ini tidak beres,’’ tegas Sirojudin.Tim formatur yang terdiri dari Djohan Hanafiah (DKSS), Toni Panggarbesi (Biro Kesra), R Syahril Erwin (DKP), Dra Norma (Disbudpar), dan Ismet (DK Lahat), dinilainya mandul. Sebab, katanya, setelah tujuh hari, seharusnya tim formatur sudah mengumumkan tokoh yang pantas memajukan DKSS. ‘’Itu artinya, tim perumus sudah melanggar ketentuan Musda DKSS. Itu kita sadari, lembaga DKSS dan kepengurusannya itu bekerja atas dasar surat keputusan (SK) pemerintah (gubernur). Jika tim perumus belum menetapkan seorang tokoh untuk menduduki jabatan ketua DKSS, berarti mereka telah melecehkan SK Gubernur,’’ ujar Sirojudin yang akrab dipanggil Sirodj.Sirodj juga menyesalkan pelaksanaan Musda DKSS digelar secara ‘’diam-diam’’ (dadakan). Sebab, katanya, sebagai seniman yang berkiprah di sini, ia tidak pernah tahu adanya Musda DKSS yang digelar Selasa (10/6). ‘’Harusnya, sebelum musda itu digelar, program itu disosialisasikan dulu ke para seniman. Ini tidak jelas, tahu-tahu musdanya sudah digelar. Saya jadi curiga dengan perhelatan itu’’.Menurut dia, seniman yang tidak ‘’membebek’’ tak ingin Djohan duduk kembali sebagai ketua DKSS, karena selama lima tahun kepengurusannya, kebijakan Djohan dinilainya tidak aspiratif dan tak berpihak kepada seniman.Kalaupun ada kegiatan, katanya, bentuknya ngocok dewek, netak dewek, dan mbagi dewek. Dengan kata lain, yang melaksanakannya bukan seniman dari sanggar-sanggar seni yang ada di Sumsel, tapi pengurus DKSS sendiri yang mengerjakan proyek itu. ‘’Inikan tidak benar. Apakah mereka tidak mengerti dengan posisinya di DKSS, atau mereka ecak-ecak pekak menanggapi keluhan seniman’’.Sebagai pekerja di lembaga kesenian, pengurus DKSS harusnya bertindak sebagai fasilitator. Kalau pun mereka ada gagasan untuk melaksanakan proyek kegiatan, pelaksanaannya harus diserahkan ke seniman. Maka itu, kata Siroj, untuk mewujudkan DKSS menjadi milik seniman, jabatan ketua harus diserahkan kepada tokoh muda yang mengerti seni dan paham mengendalikan manajemen kesenian.Dalam kesempatan wawancara kemarin, Sirodj mengimbau seluruh seniman Sumsel untuk mengajukan mosi protes terhadap kinerja tim formatur yang dinilainya sudah melanggar mandat musda. ‘’Dalam konteks ini, seluruh ketua dewan kesenian se-Sumsel harus bersikap tegas menyikapi kemandulan tim formatur. Jangan sampai keputusan tim formatur hanya menyajikan seorang tokoh yang diibaratkan membeli kucing dalam karung. Jika ini terjadi, kita harus mengajukan mosi tidak percaya,’’ tandas Sirojudin.Sebagai perupa, katanya, sejak DKSS diurus Djohan Hanafiah (periode 2003-2008), tak pernah ada tawaran program kerja yang ia terima. Yang ia ketahui, DKSS hanya melakukan program kerja tempelan, dengan cara menyantel program lembaga lain. ‘’Misalnya HUT TNI, temu sastrawan dunia, serta program lain yang bukan murni kegiatan DKSS. Berarti, pengurus DKSS tidak punya visi yang cerdas untuk melaksanakan program kesenian bagi pemberdayaan seniman di sini. Realita ini sangat menyedihkan. Makanya, untuk periode ke depan kita harus merombak kepengurusan DKSS dengan cara mengganti ketuanya dengan tokoh muda yang mengerti seni dan pahan manajemen kesenian. Ini harus kita lakukan,’’ pungkas Sirojudin. (tj/an)

No comments:

Post a Comment