Tuesday, May 5, 2009
SINOPSIS
ANAK PERAWAN DISARANG JABALAN
Gerombolan Medasing yang berjumlah enam orang bermukim di tengah hutan, di daerah lembah Lematang. Mereka keluar jika ada sasaran untuk merampok. Mereka akan tahu siapa orang yang kaya dan melewati daerahnya dari seorang kusir pembawa kabar (Samad). Maka, tersebutlah Kiaji Sahak, seorang saudagar kaya berasal dari Pagaralam yang baru saja menjual puluhan ekor kerbau di Palembang.
Suatu malam, mereka segera menyerang rombongan Kiaji Sahak. Hasilnya, mereka dapat membunuh Kiaji Sahak dan beberapa orang pengawal, di pihak Medasing salah seorang anggota gerombolan (Sohan) pun ikut gugur karena ditujah (ditikam) oleh pengawal Kiaji Sahak, sedangkan Kiaji Sahak mati terbunuh oleh kujur (tombak) Medasing. Dan Sayu, anak gadis Kiaji Sahak dilarikan ke dalam hutan oleh Medasing.
Setelah di dalam hutan ternyata, Sayu, sang perawan ini sangat di jaga oleh Medasing, entah karena alasan apa, sehingga tidak seorang jabalan pun berani mengganggu. Hanya Samad, yang berusaha mendekati dan berniat tidak baik pada Sayu. Karena itulah, ia mencari akal agar dapat mencelakai gerombolan ini.
Suatu ketika, lewatlah rombongan Belanda yang akan mengantarkan senjata ke tanah Besemah. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Samad. Dia segera pergi memberitahu Medasing bahwa akan lewat seorang toke kawe (kopi) yang kaya, dan bermalam di Lematang. Seperti biasanya, kabar dari Samad ini tidak disia-siakan oleh Medasing. Meskipun, jumlah gerombolan tinggal tiga orang. Sohan mati terbunuh, dan Amat pun mati setelah beberapa hari menderita akibat luka dibelakang badannya. Badan Amat dibuang ke dalam jurang oleh gerombolan jabalan ini. Bagi Medasing, sedikit atau banyak jumlah orang dalam gerombolannya tidak berpengaruh banyak. Dia tetap berani melaksanakan kerjanya, merampok orang kaya yang lewat di daerah kekuasaannya. Dalam penyerbuan kali ini, Medasing mengajak Samad yang meski pun gugup dan enggan tetapi tetap ikut. Tentu saja Samad harus ikut karena tidak berani membantah perintah Medasing.
Menjelang malam, para gerombolan ini pun pergi ke tempat sasaran. Medasing dengan gagah berani mendekati rombongan serdadu Belanda yang disangka toke kawe. Baru beberapa menit, para serdadu mengetahui kedatangan mereka, dan segera memberondongkan senjatanya ke arah gerombolan jabalan. Hasilnya, Samad melarikan diri, Sanif dan Tusin mati tertembak, sedangkan Medasing mendapat luka di bagian pinggir dadanya.
Dengan perasaan marah dan sesal Medasing kembali ke dalam hutan. Setiba di depan pondok, Medasing pingsan. Melihat keadaan ini Sayu segera merawat Medasing. Sejak saat ini sayu, selalu merawat dan berdialog dengan Medasing hingga akhirnya hati Medasing lunak dan mau mengantarnya kembali ke Pagaralam.
Perjalanan nasib sungguh tak dapat ditebak, Medasing menemukan jalan baru bagi kehidupannya. Dia kawin dengan Sayu, berusaha sebagaimana orang-orang di dusun. Karena kesungguhan mengubah nasib, Medasing pun mendapat kepercayaan hingga akhirnya dia menjadi Pesirah dan berubah nama menjadi Pesirah karim. Beberapa tahun setelah itu, Pesirah Medasing pun menunaikan Haji.
Akhir cerita, di lembah Lematang, sepulang dari pergi haji, Medasing dan keluarga serta rombongannya sempat bermalam di tempat dia pernah merampok Kiaji Sahak beberapa tahun lalu, dan menculik Sayu yang sekarang menjadi isterinya. Saat ini, dia bertemu dengan Samad, pembawa berita yang menjebaknya. Jika menuruti kehendak hati Medasing tentu Samad telah di bunuhnya, tetapi sekarang dia telah berubah nama menjadi Pesirah Kiaji Karim, karena itu, Samad diampuninya dan diberinya seekor kerbau, dan malah ditawarinya agar pindah ke Pagaralam dan menggarap kebon di sana.
Demikianlah, tragedi seorang manusia yang tanpa bisa ditebak bagaimana ujungnya. Medasing yang awalnya seorang jabalan yang kejam, akhirnya kembali ke jalan yang benar dan menjadi seorang yang Pesirah yang alim, kaya, dan disenangi masyarakatnya.
“GADIS PERAWAN DI SARANG JABALAN”
Teater Gaung berkerjasama dengan lembaga budaya Komunitas Batanghari Sembilan (Kobar 9), Orkes Rejung Pesirah dan didukung penuh oleh Bank Sumsel, akan menggaungkan pementasan teater “Gadis Perawan di Sarang Jabalan (GPSJ)” selama tiga hari berturut-turut pada 29-31 Mei 2009, di Auditorium RRI Palembang. Rencananya, pementasan yang disutradarai oleh Amir Hamzah Arga ini, akan dihadiri oleh Nano Riantiarno, pimpinan Teater Koma, Jakarta. Sebelumnya, GPSJ dipentaskan di Pusat Bahasa Jakarta, dalam rangka Bulan Bahasa 2008, di Aula Gedung Samudra, 22-24 Oktober 2008 dan dihadiri oleh 500 siswa di Jakarta.
GPSJ adalah sebuah naskah yang diadaptasi oleh Vebri Al Lintani dari Novel berjudul “Anak Perawan di Sarang Penyamun” karya: Sutan Takdir Alisjahbana (STA), yang ditulis tahun 1930-an. Novel yang romatik, bernuansa perjuangan dan cinta ini menceritakan seorang perawan yang diculik oleh segerombolan jabalan, ke dalam hutan rimba di lembah Lematang. Ketika ini Sayu (sang gadis), berserta keluarganya sedang istirahat dari perjalanan pulang dari Palembang menuju Pagaralam, di liku Endikat, daerah Lematang. Dalam insiden penculikan ini, ayah dan beberapa pengawal tewas dibunuh oleh gerombolan jabalan yang diketuai oleh Medasing. Menurut sebagian orang kisah ini benar-benar terjadi atau kisah nyata.
Novel yang pernah difimkan oleh PERFINI, dengan Sutradara Usmar Ismail ini, dalam pementasan kali ini akan menampilkan unsur-unsur kesenian lokal Besemah sebagai latar belakang budaya yang melingkupi cerita ini, terutama sastra tutur Guritan, Rejung dan Tadut. Selain itu, novel ini merupakan novel yang populer pada masanya dan termasuk novel yang terbaik diantara novel-novel terbaik karya STA. Novel ini patut dikenal oleh generasi saat ini. Pesan-pesan moral tentang ketabahan, kesabaran, kesetiaan dan perjuangan merupakan kekuatan cerita novel STA ini. Kondisi inilah yang menarik teater gaung untuk mengangkat novel ini ke dalam panggung teater.
Bagi yang berminat ingin menyaksikan pergelaran ini kami mempersilahkan menghubungi contak person : Kiki 0813-77892469, Sorayati, 0813-67631380, Happy Hayo 0897-9010457, dan Efvhan Fajrullah 0813-67604454, atau datang di Dewan Kesenian Palembang, Jl Sultan Mahmud Badaruddin II, BKB, telp.0711-356898. Ada pun harga tiket yang ditawarkan ada tiga kategori, yakni Vip : Rp. 50.000,- Umum: Rp. 20.000,-, dan Pelajar/mahasiwa/seniman : Rp. 10.000,-. Selain itu, bagi yang beruntung akan mendapatkan door prize dari Bank Sumsel dalam undian yang akan diadakan setiap kali pertunjukan digelar.
Apabila pementasan ini dapat terlaksana, maka sejak 18 tahun terakhir ini, dapat dikatakan hanya teater gaunglah yang kembali menggelar teater secara mandiri dan tidak dalam rangka kegiatan tertentu. Di Palembang, terakhir kali yang melakukan pentas teater secara komersial dengan menjual tiket adalah teater Potlot yang mementaskan Wong-wong karya Anwar Putra Bayu Tahun 1991. Tetapi dalam kurun waktu 1981-2009 ini, tercatat ada dua kali pementasan teater oleh kelompok teater Satu Merah Panggung, pimpinan Ratna Sarumpaet, dari Jakarta (bukan teater lokal) yang bekerjasama dengan Dewan Kesenian Sumatra Selatan. Selebihnya, adalah teater lokal yang berpentas dalam rangka apresiasi, kampanye, festival dan pentas-pentas studi oleh teater mahasiswa dan pelajar***
GPSJ adalah sebuah naskah yang diadaptasi oleh Vebri Al Lintani dari Novel berjudul “Anak Perawan di Sarang Penyamun” karya: Sutan Takdir Alisjahbana (STA), yang ditulis tahun 1930-an. Novel yang romatik, bernuansa perjuangan dan cinta ini menceritakan seorang perawan yang diculik oleh segerombolan jabalan, ke dalam hutan rimba di lembah Lematang. Ketika ini Sayu (sang gadis), berserta keluarganya sedang istirahat dari perjalanan pulang dari Palembang menuju Pagaralam, di liku Endikat, daerah Lematang. Dalam insiden penculikan ini, ayah dan beberapa pengawal tewas dibunuh oleh gerombolan jabalan yang diketuai oleh Medasing. Menurut sebagian orang kisah ini benar-benar terjadi atau kisah nyata.
Novel yang pernah difimkan oleh PERFINI, dengan Sutradara Usmar Ismail ini, dalam pementasan kali ini akan menampilkan unsur-unsur kesenian lokal Besemah sebagai latar belakang budaya yang melingkupi cerita ini, terutama sastra tutur Guritan, Rejung dan Tadut. Selain itu, novel ini merupakan novel yang populer pada masanya dan termasuk novel yang terbaik diantara novel-novel terbaik karya STA. Novel ini patut dikenal oleh generasi saat ini. Pesan-pesan moral tentang ketabahan, kesabaran, kesetiaan dan perjuangan merupakan kekuatan cerita novel STA ini. Kondisi inilah yang menarik teater gaung untuk mengangkat novel ini ke dalam panggung teater.
Bagi yang berminat ingin menyaksikan pergelaran ini kami mempersilahkan menghubungi contak person : Kiki 0813-77892469, Sorayati, 0813-67631380, Happy Hayo 0897-9010457, dan Efvhan Fajrullah 0813-67604454, atau datang di Dewan Kesenian Palembang, Jl Sultan Mahmud Badaruddin II, BKB, telp.0711-356898. Ada pun harga tiket yang ditawarkan ada tiga kategori, yakni Vip : Rp. 50.000,- Umum: Rp. 20.000,-, dan Pelajar/mahasiwa/seniman : Rp. 10.000,-. Selain itu, bagi yang beruntung akan mendapatkan door prize dari Bank Sumsel dalam undian yang akan diadakan setiap kali pertunjukan digelar.
Apabila pementasan ini dapat terlaksana, maka sejak 18 tahun terakhir ini, dapat dikatakan hanya teater gaunglah yang kembali menggelar teater secara mandiri dan tidak dalam rangka kegiatan tertentu. Di Palembang, terakhir kali yang melakukan pentas teater secara komersial dengan menjual tiket adalah teater Potlot yang mementaskan Wong-wong karya Anwar Putra Bayu Tahun 1991. Tetapi dalam kurun waktu 1981-2009 ini, tercatat ada dua kali pementasan teater oleh kelompok teater Satu Merah Panggung, pimpinan Ratna Sarumpaet, dari Jakarta (bukan teater lokal) yang bekerjasama dengan Dewan Kesenian Sumatra Selatan. Selebihnya, adalah teater lokal yang berpentas dalam rangka apresiasi, kampanye, festival dan pentas-pentas studi oleh teater mahasiswa dan pelajar***
Saturday, December 13, 2008
GITAR TUNGGAL: Warna Batanghari Sembilan
Oleh EKA PASCAL
Sahilin: Umak-umak belikan sagu /Aku kepingin makan pempek /Umak-umak carikan aku /Aku ni lah malas tiduk dewek. Siti Rahmah: Lemak pule makan pempek /Ambek sagu buat tekwan /Daripade tiduk dewek /Lemak sekali lah meluk bantal. (Pantun yang ditembangkan Sahilin dan Siti Rahmah, di suatu tempat pada suatu waktu, dalam gitar tunggal batanghari sembilan).
Setiap kebudayaan di dunia, memiliki dua pilar utama, yaitu bahasa dan musik mereka sendiri. Dalam kebanyakan budaya, baik bahasa maupun musik dipakai untuk berkomunikasi. Bahasa memakai kata-kata sebagai media untuk membagikan pemikiran dan ide, sedangkan musik mengawinkan kombinasi kata (biasanya dalam bentuk syair) dan komponen ritmis melodis untuk berkomunikasi. Seperti bahasa, musik dapat mengomunikasikan pemikiran dan ide. Bahkan kadangkala musik dapat dipakai untuk strata komunikasi yang lebih mendalam yang mengungkapkan hal-hal yang tak dapat dikatakan secara langsung. Jangan heran ketika mendengarkan suatu lagu atau komposisi musik secara ekpresif, seseorang penggemar berat musik bisa trance bahkan orgasme emosional. Musik, melalui perkawinan syair, puisi, dan, bunyi, akan menyampaikan ungkapan-ungkapan dalam kehidupan sehari-hari, baik kepedihan (elegi) maupun kelakar-kelakar (joke) yang menghibur seperti kopelan pantun Sahilin dan Siti Rahmah dalam genre batanghari sembilan di atas.
Musik adalah bunyi yang diterima oleh individu dan berbeda-beda berdasarkan sejarah, lokasi, budaya, dan selera seseorang (taste). Definisi tentang musik juga bermacam-macam, ada yang berpendapat, musik adalah bunyi yang dianggap enak oleh pendengarnya. Segala bunyi yang dihasilkan secara sengaja oleh seseorang atau kumpulan dan disajikan sebagai komposisi musik. Musik menurut Aristoteles mempunyai kemampuan mendamaikan hati yang gundah, mempunyai terapi rekreatif, dan menumbuhkan jiwa patriotisme.
Ada yang berpendapat, makna musikal tidak dapat menyeberang lintas budaya. Alasannya, kita harus berbicara dengan menggunakan bahasa musik dari budaya setempat. Jelas penulis tidak setuju dengan pendapat ini, musik adalah media komunikasi yang digetarkan melalui melalui sentuhan melodi taste seseorang, ia akan mengalir, mengisi labirin emosi pendengar, pun tanpa mengerti liriknya, seseorang akan langsung connect dengan suatu aliran musik atau irama lagu yang ia senangi.
Sebagai contoh, kita akan apresiatif (entah kalau orang tak menyenangi musik), walaupun tidak mengerti syair suatu lagu, misal lagu Kebile-bile (lagu Sumsel), Bubuy Bulan (lagu Sunda), atau I Feel Good-nya (lagu Inggris) James Brown yang sudah familiar di telinga masyarakat. Musik menyentuh sampai kedalaman jiwa manusia, ia akan larut dan menyetubuhi emosi seseorang. Apalagi ketika di rantau, lagu batanghari sembilan berkumandang, home sweet home.
Dari Rejung ke Gitar Tunggal
INDONESIA adalah sebuah negara yang terdiri dari ribuan pulau yang konon terbentang dari Papua hingga Aceh. Dari sekian banyaknya pulau beserta dengan multietnik tersebut lahir, tumbuh, dan berkembang kesenian yang merupakan identitas, jati diri, media ekspresi dari masyarakat pendukungnya. Kesenian di Indonesia ini merupakan hasil local genius budaya yang sudah berusia cukup lama, bahkan ada yang berusia ratusan tahun. Di antara kesenian itu adalah seni musik Keunikan tersebut bisa dilihat dari teknik permainannya, suara (sound), penyajiannya maupun bentuk/organologi instrumen musiknya.
Selain lagu daerah, hampir di seluruh wilayah Indonesia mempunyai seni musik tradisi, seperti tarling, campur sari, jaipongan, degung, gambang kromong, langgam jawa (dikenal sebagai bentuk musik campur sari). Ada yang telah punah namun masih ada yang bertahan walaupun dengan nafas ngos-ngosan diterjang badai berbagai aliran musik modern mulai dari pop hingga rock 'n' roll yang memang cepat akrab di telinga, terutama, kalangan muda. Salah satu kekayaan lagu dan musik yang tumbuh di Sumatra Selatan (Sumsel) adalah batanghari sembilan.
Konsep atau istilah Batanghari Sembilan, mengacu ke wilayah, adalah sebutan lain dari kawasan Sumatra Bagian Selatan (Sumsel, Jambi Lampung, Bengkulu minus pulau Bangka) yang memiliki sembilan sungai (batanghari) bermuara ke sungai Musi. Batanghari dalam beberapa bahasa lokal di Sumsel, misalnya saja bahasa Rambang (Prabumulih) berarti sungai., bersinonim dengan kali (Jawa) atau river (Inggris). Pada perkembangan selanjutnya, batanghari sembilan juga bermakna budaya, yaitu budaya batanghari sembilan, di antaranya adalah musik dan lagu batanghari sembilan (selanjutnya batanghari sembilan). Secara garis besar musik dan lagu batanghari sembilan adalah salah satu genre seni musik atau lagu daerah yang berkembang di Sumatra Selatan layaknya di daerah lain Indonesia.
Tak ada catatan khusus tentang sejak kapan mainstrem batanghari sembilan mulai ada, juga tak ada nama khusus terkait seni musik wong Sumsel ini. Masyarakat Sumsel cuma mengenalnya dengan berbagai sebutan; lagu batanghari sembilan, musik batanghari sembilan, irama batanghari sembilan, rejung (Besemah), dan ada yang mengidentikannya dengan gitar tunggal. Belakangan, karena jenis kesenian ini ada di hampir seluruh wilayah Sumsel, yang dikenal sebagai daerah Batanghari Sembilan, lekat pula nama “Batanghari Sembilan” pada jenis kesenian ini. Menurut Sahilin, pemetik gitar tunggal profesional Sumsel, istilah ini mulai dikenalkan oleh Djakfar Marik dari dusun Jambabale, Pagaralam.
Musik dan lagu batanghari sembilan diperkirakan berakar dari rejung (pantun/sastra tutur di Besemah, salah satu wilayah Batanghari Sembilan). Pada mulanya, rejung tak menggunakan instrumen musik tradisional sebagai alat pengiring bunyi, ia hanya dituturkan dengan irama yang khas. Baju kurung kancing tige /Ditunde ngambang ke Selangis /Kalu urung ancaman kite /Alangkah panjang karang tangis /Kalu ade berenay damping /Tegak ambangan Mareduwe /Kalu ade sungay nak nyumping /Suke selangis pancar duwe adalah contoh pantun rejung yang sangat populer kala itu.
Perkembangan selanjutnya, rejung mulai diharmonisasikan dengan alat bunyi perkusi sederhana, terbuat dari bambu (getuk, getak-getung), kulit binatang (redap) dan terbuat dari besi (gung, kenung). “Instrumen” rejung ini bertambah lagi dengan alat bunyi tiup yang terbuat dari bambu (seredam), besi (ginggung) bahkan ada yang terbuat dari daun (carak). Alat musik modern; gitar, akordion, terompet, biola, mulai dikenal menjadi alat pengiring musik dalam batanghari sembilan diperkirakan sejak bangsa Barat masuk ke Sumsel.
Sejak memakai alat musik modern, alat musik tradisional mulai ditinggalkan, hanya ginggung (ginggong) masih terlihat. Pasca 1945, sesuai dengan dinamika perkembangannya, genre musik batanghari sembilan membelah lagi menjadi beberapa sub-genre, pengkategorian musik seperti terkadang merupakan hal yang subjektif, di antaranya rejung (makna lain adalah sastra tutur), tige serangkay (tiga serangkai), antan delapan (contoh lagu; Antan Delapan, Eray-eray, Ribu-ribu, Kumpay Beranyut, Nasib Malang), gitar tunggal (akustik). Awalnya tige serangkay dan antan delapan adalah judul pantun dalam rejung. Amuntaukah ayik karawang /Ay, ngape nak nyabun aduhay sayang, sane seberang sane /Amuntaukah nasib kah malang /Ay, ngape nak tughun aduhay, sayang deniye dalam lah deniye /Amun mbak ini rupe mandian /Ay, ngape dik mandi aduhay, sayang kayik jalan kayik /Amun mbak ni rupe bagian /Ay, ngape di mati aduhay, sayang kecik badan lah kecik adalah syair tiga serangkai. Dalam perkembangannya, nada, ritme, melodi, dan harmoni dalam kedua lagu itu menjadi menjadi lagu-lagu dengan judul lain. Bagaimana dengan gitar tunggal?
Gitar Tunggal dan Fenomena Sahilin
BUDAYAWAN Ahmad Bastari Suan berujar, istilah gitar tunggal dalam konteks batanghari sembilan relatif baru, diperkirakan muncul sekitar tahun 1950-an. Sebelum muncul istilah ini, dikenal dengan “Petikan Dawi”. Dawi adalah nama pemetik gitar tunggal yang berasal dari daerah Besemah. Penyebutan gitar tunggal karena biasanya diiringi satu alat petik (gitar akustik), tidak ada alat musik lain, sebutan gitar tunggal pun kemudian juga dilekatkan. Pengertian gitar tunggal dalam batanghari sembilan berbeda dengan pakar gitar tunggal Jubing Kristianto atau Iwan Tanzil di Jakarta. Bagi mereka, gitar sebagai alat bunyi tunggal dalam bermusik. Sedangkan pengertian gitar tunggal dalam mainstream batanghari sembilan, selain sebagai alat musik, adalah juga warna musik atau sub-genrenya. Yok, kita gitar tunggalan atau berejung. Maksudnya, mari kita mainkan lagu-lagu, yang syairnya dari berbagai bahasa atau sub-bahasa etnik di Sumsel, diiringi teknik petikan gitar tunggal khas batanghari sembilan. Fenomena saat ini, gitar tunggal identik dengan musik batanghari sembilan itu sendiri.
Era keemasan gitar tunggal diperkirakan sekitar tahun 1960 dan 1970-an sezaman dengan era keemasan musik rock di Barat sono. “Flower generation” gitar tunggal juga bermunculan. Kala itu, masyarakat biasa menikmati petikan gitar tungal pada malam hari setelah lelah kerja seharian. Sebelum tahun 70-an, di Tanah Besemah, salah satu cara bujangan (pemuda) untuk pedakate terhadap seorang pujaannya (tentu saja perempuan), melalui gitar yang dipetik sambil melantunkan bait-bait pantun. Kegiatan ini, biasanya, dilakukan malam hari. Suara petikan gitar yang khas ini menjadi media untuk memanggil sang pujaan (gadis) bahwa ia datang untuk beghare (silaturahmi seorang atau beberapa bujang dengan seorang gadis untuk pendekatan hati). Pantunnya, di antaranya, berbunyi: Dudol ancaw dikecap kuday/ beghase anjam ngulang pule/ datang ke sini andun ninday/ amu boleh aku beghusik malam kele. Perpaduan bait pantun yang dilagukan dengan sound petikan gitar tunggal yang khas itulah dinamakan rejung.
Musik dan lagu batanghari sembilan melalui petikan gitar tunggal pada umumnya bersifat melankolis. Hal ini berkaitan erat dengan struktur masyarakatnya yang memiliki rasa persaudaraan, hubungan kekeluargaan, dan kecintaan akan kampung halaman. Dan sesuai dengan pengaruh riak aliran batanghari sembilan, musik ini memiliki irama yang meliuk-liuk dengan lirik berupa pantun bersahut yang panjang dan bersambungan, mirip panjangnya aliran sungai. Saat ini lagu batanghari sembilan bukan hanya untuk bersenandung melepas kepenatan hidup atau untuk merayu sang gadis pujaan, tapi juga sebagai suatu profesi dan seni pertunjukan. Pertunjukan musik batanghari sembilan, kadangkala menampilkan satu-dua penyanyi yang melantunkan pantun bersahut, dengan iringan petikan gitar tunggal.
Saat ini, seniman yang pernah dan masih setia menekuni seni ini bisa dihitung dengan jari, di antaranya Wayah, Isran, Rasnawati, Buchori, Discik, Syafrin, Emilia, Asnadewi, Rusli Effendi, Armin, Arman Idris, Jefri, Paul, Sahilin. Sahilin tetaplah maskot dan paling populer di jalur ini. Sakingnya banyaknya “show”, undangan presiden SBY pun pernah tak dapat dihadiri oleh Sahilin, karena jadwal bentrok. Walaupun bukan artis Jakarta, ternyata seorang Sahilin tetap profesional dan komit.
Pentatonis
Secara teoritis, teknik memetik gitar tunggal batanghari sembilan umumnya pentatonis (bertangga nada lima, bandingkan dengan musik produk Barat yang umumnya diatonis; bertangga nada tujuh). Petikannya dominan memanfaatkan melodi bas (senar 4, 5, dan 6). Setiap ganti lagu, acapkali, pemusik nyetem (menyetel) gitarnya sehingga menghasilkan irama yang berbeda. Dari delapan nada dasar pada gitar, kerap hanya mengandalkan lima nada. Nada-nada itu dipadukan secara pentatonis, mirip gamelan atau ketukan perkusi yang ritmis dan agak monoton, baik melodi maupu harmoni.
Adalah Hanafi dari Jurusan Karawitan, Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Padangpanjang, Sumatra Barat yang mengamati lagu-lagu batanghari sembilan yang dibawakan Sahilin, menjelaskan permainan gitar Sahilin memang unik. Pada lagu Nasib Muara Kuang, misalnya, ia bermain pada metrum (satuan irama yang ditentukan oleh jumlah dan tekanan suku kata dalam setiap baris puisi) yang berbeda-beda. Metrum awal mempunyai hitungan 4, pada bagian-bagian tertentu ia memainkan gitar pada hitungan 6 dan 10. Bahkan, ada yang muncul pada hitungan ganjil, seperti hitungan 5. Menurut Hanafi, yang sempat survei bersama Philip Yampolsky dari Ford Foundation, dalam lagu-lagunya, Sahilin tak mau terikat dengan pola-pola birama konvensional. Sahilin bermain dengan mengikuti frase-frase melodi yang pada dasarnya memiliki metrum berbeda walaupun pada bagian awal dinyatakan dengan hitungan 4 atau metrum empat per empat (4/4).
Menjaga Pesake Puyang
GENERASI seniman batanghari sembilan, terutama gitar tunggal, kian hari kian sedikit, katanya disebabkan tak mulusnya regenerasi musik dan lagu batanghari sembilan. Saat ini pelestari dan penjaga musik ini umumnya kaum tua, sedangkan kaum muda memposisikan batanghari sembilan sebagai musik yang sudah ketinggalan zaman dan susah di-download secara emosional maupun teknik. Minat mempelajari batanghari sembilan dari kalangan muda juga rendah. Hal ini bisa dilihat dari sedikitnya pemusik yang menekuni musik dan lagu ini. Masyarakat di Sumsel belum banyak tahu tentang kekuatan dan kelebihan musik batanghari sembilan. Mereka belum punya suatu gambaran utuh tentang musik dan lagu ini. Walaupun, umumnya, mereka pernah mendengar alunan petikan gitar tunggal. Karena itu, dibutuhkan suatu pemahaman musik batanghari sembilan melalui fonografi, misalnya. Pada saat sekarang, perkembangan musik batanghari sembilan, sedikit sekali dipahami, tergilas oleh musik modern. Kalau batanghari sembilan itu kian tidak diminati, dikuatirkan kita terlambat untuk memahami salah satu pesake (warisan) puyang.
Nampaknya, selain pakem batanghari sembilan tetap hidup, pengembangan musik dan lagu ini perlu mengarah kepada penyesuaian dan keperluan apresiasi masyarakat masa kini yang lebih dinamis dan perilaku yang serba cepat, maka tidak salah ada pertimbangan pengembangan musik batanghari sembilan mengarah pula kepada penempatan dinamika musikal sebagai dasar disain dramatik penggarapan musik itu sendiri. Menggarap konsep pengembangan musik daerah yang disesuaikan dengan keperluan sentuhan seni pertunjukan, berarti perlu proses kreatif seniman musik mengembangkan dan membuka peluang terhadap batanghari sembilan yang punya pola melodi ataupun ritme melankolis ini agar dapat mengisi bagian-bagian dalam komposisi warna musik baru yang lebih dinamis dan tidak meninggalkan roh dan kekuatan warna batanghari sembilan. Salah satu, grup musik di Sumsel yang tengah mempelajari, meneliti, dan mengusung konsep lagu-lagu daerah/etnik, (warna musik batanghari sembilan) dengan tetap mengandalkan kekuatan sound khas petikan gitar tunggal adalah Orkes Rejung Pesirah yang terbentuk pada awal tahun 2008 lalu.
Mungkin, grade kita mencoba apresiatif dululah terhadap kesenian ini tanpa meninggalkan kegemaran kita akan aliran musik tertentu, pop oke, dengan jazz kita tetap improvisasi, dengan rock kita buat dunia gaduh, dangdut apalagi, jangan sampai “senggol basah” lur, campursari monggo waelah, dengan house music, ngajak nganar coy, dengan batanghari sembilan, lanjut mang. Yang jelas, pesan dan muatan petatah-petiti syair dalam batanghari sembilan mungkin bermanfaat bagi kita.
Di beberapa daerah di Indonesia, seni musik daerah sudah mampu untuk meningkatkan jati diri bangsa, bahkan juga menjadi salah satu hal ketertarikan wisatawan mancanegara untuk berkunjung ke Indonesia. Hal ini dapat dilihat di Bali misalnya, seni musik gamelan Bali bukan hanya diminati oleh para seniman gamelan Bali saja, generasi mudanya yaitu anak-anak SD, SMP, maupun SMA cukup banyak yang menempa dirinya berlatih memainkan alat musik gamelan tersebut.
Di Sumsel, dapat dikatakan intensitas seni musik gitar tunggal tidak seintensif di Bali dan Jawa, namun tetap saja hal ini menunjukkan bahwa geliat upaya masyarakat untuk mempertahankannya tetap berlangsung. Asumsi selama ini, terkesan bahwa pemetik gitar tunggal hanya dari kalangan orang tua, ternyata ketika maping pemetik gitar tunggal amatir dalam Festival Gitar Tunggal yang diadakan tahun 2003 dan 2004 oleh kalangan pemusik muda di Kota Pagaralam, pesertanya sampai 65 orang? Dan mereka rata-rata dari kalangan muda.
Walaupun fakta pemetik gitar tunggal tetap hadir dan mengalir seperti di Pagaralam, belumlah dapat dijadikan barometer ada perkembangan yang signifikan. Atau peminat seni ini hanya hidup dan diminati di dusun-dusun Sumsel? Pretensi bahwa pemetik gitar tunggal batanghari sembilan cuma dari kalangan tua dan mulai kehilangan penjaganya, perlu dipertanyakan lagi. Namun tetap perlu dilakukan upaya-upaya konkret dari semua pihak, bukan saja dari budayawan atau seniman musik Sumsel tersebut, bahkan dari masyarakat umum untuk memberikan kontribusi nyata agar budaya musik batanghari sembilan dapat dipertahankan keberadaannya, seperti menjadikan batanghari sembilan sebagai muatan lokal dalam pelajaran seni musik, atau yang lebih nyata lagi budayakan nanggap gitar tunggal tidak hanya dalam event perkawinan saja. Apa yang telah dilakukan oleh stasiun televisi lokal di Palembang, dengan menampilkan seniman gitar tunggal juga patut diacungi jempol. Jadi sungguh ironis, ketika pembukaan Visit Musi 2008 lalu yang wah, seniman batanghari sembilan tidak mewarnai sungai Musi miliknya. Dengan kata lain, yang melukis pelangi di sungai Musi adalah wong Jakarta. Bah!
Sahilin: Umak-umak belikan sagu /Aku kepingin makan pempek /Umak-umak carikan aku /Aku ni lah malas tiduk dewek. Siti Rahmah: Lemak pule makan pempek /Ambek sagu buat tekwan /Daripade tiduk dewek /Lemak sekali lah meluk bantal. (Pantun yang ditembangkan Sahilin dan Siti Rahmah, di suatu tempat pada suatu waktu, dalam gitar tunggal batanghari sembilan).
Setiap kebudayaan di dunia, memiliki dua pilar utama, yaitu bahasa dan musik mereka sendiri. Dalam kebanyakan budaya, baik bahasa maupun musik dipakai untuk berkomunikasi. Bahasa memakai kata-kata sebagai media untuk membagikan pemikiran dan ide, sedangkan musik mengawinkan kombinasi kata (biasanya dalam bentuk syair) dan komponen ritmis melodis untuk berkomunikasi. Seperti bahasa, musik dapat mengomunikasikan pemikiran dan ide. Bahkan kadangkala musik dapat dipakai untuk strata komunikasi yang lebih mendalam yang mengungkapkan hal-hal yang tak dapat dikatakan secara langsung. Jangan heran ketika mendengarkan suatu lagu atau komposisi musik secara ekpresif, seseorang penggemar berat musik bisa trance bahkan orgasme emosional. Musik, melalui perkawinan syair, puisi, dan, bunyi, akan menyampaikan ungkapan-ungkapan dalam kehidupan sehari-hari, baik kepedihan (elegi) maupun kelakar-kelakar (joke) yang menghibur seperti kopelan pantun Sahilin dan Siti Rahmah dalam genre batanghari sembilan di atas.
Musik adalah bunyi yang diterima oleh individu dan berbeda-beda berdasarkan sejarah, lokasi, budaya, dan selera seseorang (taste). Definisi tentang musik juga bermacam-macam, ada yang berpendapat, musik adalah bunyi yang dianggap enak oleh pendengarnya. Segala bunyi yang dihasilkan secara sengaja oleh seseorang atau kumpulan dan disajikan sebagai komposisi musik. Musik menurut Aristoteles mempunyai kemampuan mendamaikan hati yang gundah, mempunyai terapi rekreatif, dan menumbuhkan jiwa patriotisme.
Ada yang berpendapat, makna musikal tidak dapat menyeberang lintas budaya. Alasannya, kita harus berbicara dengan menggunakan bahasa musik dari budaya setempat. Jelas penulis tidak setuju dengan pendapat ini, musik adalah media komunikasi yang digetarkan melalui melalui sentuhan melodi taste seseorang, ia akan mengalir, mengisi labirin emosi pendengar, pun tanpa mengerti liriknya, seseorang akan langsung connect dengan suatu aliran musik atau irama lagu yang ia senangi.
Sebagai contoh, kita akan apresiatif (entah kalau orang tak menyenangi musik), walaupun tidak mengerti syair suatu lagu, misal lagu Kebile-bile (lagu Sumsel), Bubuy Bulan (lagu Sunda), atau I Feel Good-nya (lagu Inggris) James Brown yang sudah familiar di telinga masyarakat. Musik menyentuh sampai kedalaman jiwa manusia, ia akan larut dan menyetubuhi emosi seseorang. Apalagi ketika di rantau, lagu batanghari sembilan berkumandang, home sweet home.
Dari Rejung ke Gitar Tunggal
INDONESIA adalah sebuah negara yang terdiri dari ribuan pulau yang konon terbentang dari Papua hingga Aceh. Dari sekian banyaknya pulau beserta dengan multietnik tersebut lahir, tumbuh, dan berkembang kesenian yang merupakan identitas, jati diri, media ekspresi dari masyarakat pendukungnya. Kesenian di Indonesia ini merupakan hasil local genius budaya yang sudah berusia cukup lama, bahkan ada yang berusia ratusan tahun. Di antara kesenian itu adalah seni musik Keunikan tersebut bisa dilihat dari teknik permainannya, suara (sound), penyajiannya maupun bentuk/organologi instrumen musiknya.
Selain lagu daerah, hampir di seluruh wilayah Indonesia mempunyai seni musik tradisi, seperti tarling, campur sari, jaipongan, degung, gambang kromong, langgam jawa (dikenal sebagai bentuk musik campur sari). Ada yang telah punah namun masih ada yang bertahan walaupun dengan nafas ngos-ngosan diterjang badai berbagai aliran musik modern mulai dari pop hingga rock 'n' roll yang memang cepat akrab di telinga, terutama, kalangan muda. Salah satu kekayaan lagu dan musik yang tumbuh di Sumatra Selatan (Sumsel) adalah batanghari sembilan.
Konsep atau istilah Batanghari Sembilan, mengacu ke wilayah, adalah sebutan lain dari kawasan Sumatra Bagian Selatan (Sumsel, Jambi Lampung, Bengkulu minus pulau Bangka) yang memiliki sembilan sungai (batanghari) bermuara ke sungai Musi. Batanghari dalam beberapa bahasa lokal di Sumsel, misalnya saja bahasa Rambang (Prabumulih) berarti sungai., bersinonim dengan kali (Jawa) atau river (Inggris). Pada perkembangan selanjutnya, batanghari sembilan juga bermakna budaya, yaitu budaya batanghari sembilan, di antaranya adalah musik dan lagu batanghari sembilan (selanjutnya batanghari sembilan). Secara garis besar musik dan lagu batanghari sembilan adalah salah satu genre seni musik atau lagu daerah yang berkembang di Sumatra Selatan layaknya di daerah lain Indonesia.
Tak ada catatan khusus tentang sejak kapan mainstrem batanghari sembilan mulai ada, juga tak ada nama khusus terkait seni musik wong Sumsel ini. Masyarakat Sumsel cuma mengenalnya dengan berbagai sebutan; lagu batanghari sembilan, musik batanghari sembilan, irama batanghari sembilan, rejung (Besemah), dan ada yang mengidentikannya dengan gitar tunggal. Belakangan, karena jenis kesenian ini ada di hampir seluruh wilayah Sumsel, yang dikenal sebagai daerah Batanghari Sembilan, lekat pula nama “Batanghari Sembilan” pada jenis kesenian ini. Menurut Sahilin, pemetik gitar tunggal profesional Sumsel, istilah ini mulai dikenalkan oleh Djakfar Marik dari dusun Jambabale, Pagaralam.
Musik dan lagu batanghari sembilan diperkirakan berakar dari rejung (pantun/sastra tutur di Besemah, salah satu wilayah Batanghari Sembilan). Pada mulanya, rejung tak menggunakan instrumen musik tradisional sebagai alat pengiring bunyi, ia hanya dituturkan dengan irama yang khas. Baju kurung kancing tige /Ditunde ngambang ke Selangis /Kalu urung ancaman kite /Alangkah panjang karang tangis /Kalu ade berenay damping /Tegak ambangan Mareduwe /Kalu ade sungay nak nyumping /Suke selangis pancar duwe adalah contoh pantun rejung yang sangat populer kala itu.
Perkembangan selanjutnya, rejung mulai diharmonisasikan dengan alat bunyi perkusi sederhana, terbuat dari bambu (getuk, getak-getung), kulit binatang (redap) dan terbuat dari besi (gung, kenung). “Instrumen” rejung ini bertambah lagi dengan alat bunyi tiup yang terbuat dari bambu (seredam), besi (ginggung) bahkan ada yang terbuat dari daun (carak). Alat musik modern; gitar, akordion, terompet, biola, mulai dikenal menjadi alat pengiring musik dalam batanghari sembilan diperkirakan sejak bangsa Barat masuk ke Sumsel.
Sejak memakai alat musik modern, alat musik tradisional mulai ditinggalkan, hanya ginggung (ginggong) masih terlihat. Pasca 1945, sesuai dengan dinamika perkembangannya, genre musik batanghari sembilan membelah lagi menjadi beberapa sub-genre, pengkategorian musik seperti terkadang merupakan hal yang subjektif, di antaranya rejung (makna lain adalah sastra tutur), tige serangkay (tiga serangkai), antan delapan (contoh lagu; Antan Delapan, Eray-eray, Ribu-ribu, Kumpay Beranyut, Nasib Malang), gitar tunggal (akustik). Awalnya tige serangkay dan antan delapan adalah judul pantun dalam rejung. Amuntaukah ayik karawang /Ay, ngape nak nyabun aduhay sayang, sane seberang sane /Amuntaukah nasib kah malang /Ay, ngape nak tughun aduhay, sayang deniye dalam lah deniye /Amun mbak ini rupe mandian /Ay, ngape dik mandi aduhay, sayang kayik jalan kayik /Amun mbak ni rupe bagian /Ay, ngape di mati aduhay, sayang kecik badan lah kecik adalah syair tiga serangkai. Dalam perkembangannya, nada, ritme, melodi, dan harmoni dalam kedua lagu itu menjadi menjadi lagu-lagu dengan judul lain. Bagaimana dengan gitar tunggal?
Gitar Tunggal dan Fenomena Sahilin
BUDAYAWAN Ahmad Bastari Suan berujar, istilah gitar tunggal dalam konteks batanghari sembilan relatif baru, diperkirakan muncul sekitar tahun 1950-an. Sebelum muncul istilah ini, dikenal dengan “Petikan Dawi”. Dawi adalah nama pemetik gitar tunggal yang berasal dari daerah Besemah. Penyebutan gitar tunggal karena biasanya diiringi satu alat petik (gitar akustik), tidak ada alat musik lain, sebutan gitar tunggal pun kemudian juga dilekatkan. Pengertian gitar tunggal dalam batanghari sembilan berbeda dengan pakar gitar tunggal Jubing Kristianto atau Iwan Tanzil di Jakarta. Bagi mereka, gitar sebagai alat bunyi tunggal dalam bermusik. Sedangkan pengertian gitar tunggal dalam mainstream batanghari sembilan, selain sebagai alat musik, adalah juga warna musik atau sub-genrenya. Yok, kita gitar tunggalan atau berejung. Maksudnya, mari kita mainkan lagu-lagu, yang syairnya dari berbagai bahasa atau sub-bahasa etnik di Sumsel, diiringi teknik petikan gitar tunggal khas batanghari sembilan. Fenomena saat ini, gitar tunggal identik dengan musik batanghari sembilan itu sendiri.
Era keemasan gitar tunggal diperkirakan sekitar tahun 1960 dan 1970-an sezaman dengan era keemasan musik rock di Barat sono. “Flower generation” gitar tunggal juga bermunculan. Kala itu, masyarakat biasa menikmati petikan gitar tungal pada malam hari setelah lelah kerja seharian. Sebelum tahun 70-an, di Tanah Besemah, salah satu cara bujangan (pemuda) untuk pedakate terhadap seorang pujaannya (tentu saja perempuan), melalui gitar yang dipetik sambil melantunkan bait-bait pantun. Kegiatan ini, biasanya, dilakukan malam hari. Suara petikan gitar yang khas ini menjadi media untuk memanggil sang pujaan (gadis) bahwa ia datang untuk beghare (silaturahmi seorang atau beberapa bujang dengan seorang gadis untuk pendekatan hati). Pantunnya, di antaranya, berbunyi: Dudol ancaw dikecap kuday/ beghase anjam ngulang pule/ datang ke sini andun ninday/ amu boleh aku beghusik malam kele. Perpaduan bait pantun yang dilagukan dengan sound petikan gitar tunggal yang khas itulah dinamakan rejung.
Musik dan lagu batanghari sembilan melalui petikan gitar tunggal pada umumnya bersifat melankolis. Hal ini berkaitan erat dengan struktur masyarakatnya yang memiliki rasa persaudaraan, hubungan kekeluargaan, dan kecintaan akan kampung halaman. Dan sesuai dengan pengaruh riak aliran batanghari sembilan, musik ini memiliki irama yang meliuk-liuk dengan lirik berupa pantun bersahut yang panjang dan bersambungan, mirip panjangnya aliran sungai. Saat ini lagu batanghari sembilan bukan hanya untuk bersenandung melepas kepenatan hidup atau untuk merayu sang gadis pujaan, tapi juga sebagai suatu profesi dan seni pertunjukan. Pertunjukan musik batanghari sembilan, kadangkala menampilkan satu-dua penyanyi yang melantunkan pantun bersahut, dengan iringan petikan gitar tunggal.
Saat ini, seniman yang pernah dan masih setia menekuni seni ini bisa dihitung dengan jari, di antaranya Wayah, Isran, Rasnawati, Buchori, Discik, Syafrin, Emilia, Asnadewi, Rusli Effendi, Armin, Arman Idris, Jefri, Paul, Sahilin. Sahilin tetaplah maskot dan paling populer di jalur ini. Sakingnya banyaknya “show”, undangan presiden SBY pun pernah tak dapat dihadiri oleh Sahilin, karena jadwal bentrok. Walaupun bukan artis Jakarta, ternyata seorang Sahilin tetap profesional dan komit.
Pentatonis
Secara teoritis, teknik memetik gitar tunggal batanghari sembilan umumnya pentatonis (bertangga nada lima, bandingkan dengan musik produk Barat yang umumnya diatonis; bertangga nada tujuh). Petikannya dominan memanfaatkan melodi bas (senar 4, 5, dan 6). Setiap ganti lagu, acapkali, pemusik nyetem (menyetel) gitarnya sehingga menghasilkan irama yang berbeda. Dari delapan nada dasar pada gitar, kerap hanya mengandalkan lima nada. Nada-nada itu dipadukan secara pentatonis, mirip gamelan atau ketukan perkusi yang ritmis dan agak monoton, baik melodi maupu harmoni.
Adalah Hanafi dari Jurusan Karawitan, Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Padangpanjang, Sumatra Barat yang mengamati lagu-lagu batanghari sembilan yang dibawakan Sahilin, menjelaskan permainan gitar Sahilin memang unik. Pada lagu Nasib Muara Kuang, misalnya, ia bermain pada metrum (satuan irama yang ditentukan oleh jumlah dan tekanan suku kata dalam setiap baris puisi) yang berbeda-beda. Metrum awal mempunyai hitungan 4, pada bagian-bagian tertentu ia memainkan gitar pada hitungan 6 dan 10. Bahkan, ada yang muncul pada hitungan ganjil, seperti hitungan 5. Menurut Hanafi, yang sempat survei bersama Philip Yampolsky dari Ford Foundation, dalam lagu-lagunya, Sahilin tak mau terikat dengan pola-pola birama konvensional. Sahilin bermain dengan mengikuti frase-frase melodi yang pada dasarnya memiliki metrum berbeda walaupun pada bagian awal dinyatakan dengan hitungan 4 atau metrum empat per empat (4/4).
Menjaga Pesake Puyang
GENERASI seniman batanghari sembilan, terutama gitar tunggal, kian hari kian sedikit, katanya disebabkan tak mulusnya regenerasi musik dan lagu batanghari sembilan. Saat ini pelestari dan penjaga musik ini umumnya kaum tua, sedangkan kaum muda memposisikan batanghari sembilan sebagai musik yang sudah ketinggalan zaman dan susah di-download secara emosional maupun teknik. Minat mempelajari batanghari sembilan dari kalangan muda juga rendah. Hal ini bisa dilihat dari sedikitnya pemusik yang menekuni musik dan lagu ini. Masyarakat di Sumsel belum banyak tahu tentang kekuatan dan kelebihan musik batanghari sembilan. Mereka belum punya suatu gambaran utuh tentang musik dan lagu ini. Walaupun, umumnya, mereka pernah mendengar alunan petikan gitar tunggal. Karena itu, dibutuhkan suatu pemahaman musik batanghari sembilan melalui fonografi, misalnya. Pada saat sekarang, perkembangan musik batanghari sembilan, sedikit sekali dipahami, tergilas oleh musik modern. Kalau batanghari sembilan itu kian tidak diminati, dikuatirkan kita terlambat untuk memahami salah satu pesake (warisan) puyang.
Nampaknya, selain pakem batanghari sembilan tetap hidup, pengembangan musik dan lagu ini perlu mengarah kepada penyesuaian dan keperluan apresiasi masyarakat masa kini yang lebih dinamis dan perilaku yang serba cepat, maka tidak salah ada pertimbangan pengembangan musik batanghari sembilan mengarah pula kepada penempatan dinamika musikal sebagai dasar disain dramatik penggarapan musik itu sendiri. Menggarap konsep pengembangan musik daerah yang disesuaikan dengan keperluan sentuhan seni pertunjukan, berarti perlu proses kreatif seniman musik mengembangkan dan membuka peluang terhadap batanghari sembilan yang punya pola melodi ataupun ritme melankolis ini agar dapat mengisi bagian-bagian dalam komposisi warna musik baru yang lebih dinamis dan tidak meninggalkan roh dan kekuatan warna batanghari sembilan. Salah satu, grup musik di Sumsel yang tengah mempelajari, meneliti, dan mengusung konsep lagu-lagu daerah/etnik, (warna musik batanghari sembilan) dengan tetap mengandalkan kekuatan sound khas petikan gitar tunggal adalah Orkes Rejung Pesirah yang terbentuk pada awal tahun 2008 lalu.
Mungkin, grade kita mencoba apresiatif dululah terhadap kesenian ini tanpa meninggalkan kegemaran kita akan aliran musik tertentu, pop oke, dengan jazz kita tetap improvisasi, dengan rock kita buat dunia gaduh, dangdut apalagi, jangan sampai “senggol basah” lur, campursari monggo waelah, dengan house music, ngajak nganar coy, dengan batanghari sembilan, lanjut mang. Yang jelas, pesan dan muatan petatah-petiti syair dalam batanghari sembilan mungkin bermanfaat bagi kita.
Di beberapa daerah di Indonesia, seni musik daerah sudah mampu untuk meningkatkan jati diri bangsa, bahkan juga menjadi salah satu hal ketertarikan wisatawan mancanegara untuk berkunjung ke Indonesia. Hal ini dapat dilihat di Bali misalnya, seni musik gamelan Bali bukan hanya diminati oleh para seniman gamelan Bali saja, generasi mudanya yaitu anak-anak SD, SMP, maupun SMA cukup banyak yang menempa dirinya berlatih memainkan alat musik gamelan tersebut.
Di Sumsel, dapat dikatakan intensitas seni musik gitar tunggal tidak seintensif di Bali dan Jawa, namun tetap saja hal ini menunjukkan bahwa geliat upaya masyarakat untuk mempertahankannya tetap berlangsung. Asumsi selama ini, terkesan bahwa pemetik gitar tunggal hanya dari kalangan orang tua, ternyata ketika maping pemetik gitar tunggal amatir dalam Festival Gitar Tunggal yang diadakan tahun 2003 dan 2004 oleh kalangan pemusik muda di Kota Pagaralam, pesertanya sampai 65 orang? Dan mereka rata-rata dari kalangan muda.
Walaupun fakta pemetik gitar tunggal tetap hadir dan mengalir seperti di Pagaralam, belumlah dapat dijadikan barometer ada perkembangan yang signifikan. Atau peminat seni ini hanya hidup dan diminati di dusun-dusun Sumsel? Pretensi bahwa pemetik gitar tunggal batanghari sembilan cuma dari kalangan tua dan mulai kehilangan penjaganya, perlu dipertanyakan lagi. Namun tetap perlu dilakukan upaya-upaya konkret dari semua pihak, bukan saja dari budayawan atau seniman musik Sumsel tersebut, bahkan dari masyarakat umum untuk memberikan kontribusi nyata agar budaya musik batanghari sembilan dapat dipertahankan keberadaannya, seperti menjadikan batanghari sembilan sebagai muatan lokal dalam pelajaran seni musik, atau yang lebih nyata lagi budayakan nanggap gitar tunggal tidak hanya dalam event perkawinan saja. Apa yang telah dilakukan oleh stasiun televisi lokal di Palembang, dengan menampilkan seniman gitar tunggal juga patut diacungi jempol. Jadi sungguh ironis, ketika pembukaan Visit Musi 2008 lalu yang wah, seniman batanghari sembilan tidak mewarnai sungai Musi miliknya. Dengan kata lain, yang melukis pelangi di sungai Musi adalah wong Jakarta. Bah!
Sikap Seniman Sriwijaya
Kompas
Sabtu, 1 November 2008 | 02:09 WIB
Forum Seniman Sriwijaya (Foss), Jumat (31/10), menyatakan sikap terkait pelantikan Ketua Dewan Kesenian Sumatera Selatan (DKSS) yang akan dilaksanakan tanggal 4 November. Menurut Sekretaris Foss Ali Goik, pernyataan sikap itu muncul akibat sejumlah persoalan yang melanda organisasi DKSS. Oleh sebab itu, Foss menyampaikan tiga pernyataan sikap, pertama menolak penunjukan ketua DKSS tanpa mekanisme yang benar. Kedua, Foss meminta Gubernur Sumsel tidak melantik ketua DKSS yang diajukan oleh pelaksana tugas DKSS. Ketiga, Foss meminta segera dibentuk panitia persiapan Musyawarah Daerah Luar Biasa DKSS. (WAD)
Sabtu, 1 November 2008 | 02:09 WIB
Forum Seniman Sriwijaya (Foss), Jumat (31/10), menyatakan sikap terkait pelantikan Ketua Dewan Kesenian Sumatera Selatan (DKSS) yang akan dilaksanakan tanggal 4 November. Menurut Sekretaris Foss Ali Goik, pernyataan sikap itu muncul akibat sejumlah persoalan yang melanda organisasi DKSS. Oleh sebab itu, Foss menyampaikan tiga pernyataan sikap, pertama menolak penunjukan ketua DKSS tanpa mekanisme yang benar. Kedua, Foss meminta Gubernur Sumsel tidak melantik ketua DKSS yang diajukan oleh pelaksana tugas DKSS. Ketiga, Foss meminta segera dibentuk panitia persiapan Musyawarah Daerah Luar Biasa DKSS. (WAD)
Subscribe to:
Posts (Atom)